TEMPO.CO, Jakarta - Tangan-tangan pegawai Seminyak Clean cekatan memilah wadah plastik, sisa makanan, dan sampah lain ke dalam wadah-wadah berbeda. Sisa makanan kelak dijadikan kompos atau pakan ternak, sementara plastik dipisahkan kembali untuk didaur ulang.
Ada 22 pegawai di perusahaan pengolahan sampah di Jalan Beji Ayu Nomor 10, Seminyak, Bali, itu. Berdiri di atas lahan 12,7 hektare, sudah 13 tahun perusahaan di bawah naungan Desa Adat Seminyak ini menghasilkan uang dengan mengolah sampah. "Rata-rata 160 meter kubik per hari," kata Ketua Seminyak Clean, I Komang Ruditha Hartawan, ketika ditemui Tempo.
Pelanggan mereka pun meruyak. Ada 360 rumah tangga, 312 hotel, vila, restoran, toko, toko barang seni, dan warung yang menyetor sampah ke Seminyak Clean. Puluhan truk pengambil sampah dilengkapi dengan pelacak lokasi (GPS), sehingga pengambilan sampah lebih terkontrol.
Pemasangan GPS ini baru dimulai pada Mei 2015, setelah Ruditha mengenal Febriadi Pratama dan Olivier Pouillon. Sebelum bulan itu, ia kesulitan mendata sampah yang datang dan pergi, sehingga menyulitkan pencatatan.
Febriadi dan Olivier adalah penggagas Gringgo, sebuah situs dan aplikasi sistem pengolahan sampah. Lewat Gringgo, Febriadi, 31 tahun, dan Olivier, 45 tahun, menjembatani semua pihak dalam bisnis sampah. Rumah tangga, hotel, restoran, toko, hingga warung, selaku penghasil sampah, dihubungkan secara digital dengan pengepul, depo, dan tempat-tempat pengolahan sampah (TPS).
Menurut Febri—panggilan Febriadi—konsep Gringgo cukup sederhana. "Orang-orang yang tidak punya jasa pengambilan sampah bisa minta antar-jemput," katanya. Ide ini bermula dari kebingungan Febri atas absennya jasa pengangkut sampah di tempat tinggalnya di Kota Denpasar. Pucuk dicita ulam tiba, keinginan Febri itu rupanya cocok dengan gagasan Olivier.
Cikal-bakal Gringgo dimulai pada November 2014. Saat itu Febri, desainer interior asal Bogor, Jawa Barat, bertemu dengan Olivier dalam acara Startup Weekend Bali di Ubud. Selama lebih dari 21 tahun, pria Prancis ini malang-melintang sebagai pegiat lingkungan di Bali. Dari hasil diskusi, terpikir oleh mereka terobosan tentang pembuangan dan daur ulang sampah secara digital.
Febriadi Pratama dan Olivier Pouillon, penggagas dan pengembang Gringgo.
Gringgo—nama plesetan dari Green dan Go—baru dikenalkan pada medio 2015. Sebelum itu, Febri dan Olivier menamainya Cash for Trash, yang terinspirasi dari tabiat warga Denpasar yang doyan membakar sampah. Padahal, menurut Olivier, sampah bisa bernilai ekonomis. "Bakar sampah berarti bakar uang, buang sampah berarti buang uang," ucapnya.
Menurut Febri, ia dan timnya—berisi enam orang—masih menyempurnakan gudang data Gringgo. Informasi titik-titik TPS, depo, pengepul, sampai jaringan pemulung terus dilengkapi. Gringgo baru diluncurkan pada akhir 2016, meski saat ini sudah bisa diunduh versi purwarupanya di Android dan iOS. "Belum untuk konsumsi publik," kata Febri.
I Wayan Windu Segara, seorang warga Desa Seminyak, mengatakan Seminyak Clean membantu menjaga kebersihan desa, yang merupakan kawasan pariwisata. Penduduk memusnahkan sampah dengan dibakar karena sampah dipandang sebagai runtah—sesuatu yang tak berguna.
Pelanggan lain, I Made Joni Astra, kepala teknisi hotel Courtyard Bali Seminyak Resort, mengatakan Seminyak Clean membantunya mendapatkan kompos untuk taman di hotelnya. "Sebulan 50 kilogram, bisa untuk 8 are taman,” kata dia.
BRAM SETIAWAN (DENPASAR)