TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah terus berupaya menggunakan berbagai cara untuk membebaskan warga negara Indonesia yang disandera di Filipina. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, Presiden Joko Widodo sudah berkirim surat meminta pemerintah Filipina membantu langkah pembebasan.
"Semua sudah dilakukan," kata Kalla di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa, 12 Juli 2016. Meski demikian, Kalla menegaskan pemerintah enggan bernegosiasi dan memberikan uang tebusan kepada pelaku. Kalla berpegangan kepada asumsi pembajakan yang berlaku di mana kalau diberikan toleransi akan menimbulkan pembajakan berikutnya.
Oleh sebab itu, Kalla menambahkan, apa pun pilihan yang dilakukan pemerintah selalu ada risiko yang mengikuti. Menurut dia, kalau bernegosiasi maka ada risiko pembajakan berulang lagi. Begitu pun sebaliknya, bila tak ada negosiasi, risikonya ialah keselamatan sandera. "Mudah-mudahan risikonya kecil," ucapnya.
Baca: Panglima TNI Kesal Pembebasan Sandera Lamban
Pemerintah, lanjutnya, berada di posisi yang tidak mudah. Di satu sisi tidak ingin kejadian pembajakan berulang kembali dan di sisi lain ingin WNI yang disandera selamat. Namun dari pihak pengusaha tidak menutup kemungkinan malah memilih langkah negosiasi yang dianggap pemerintah bisa membuat kejadian serupa terulang di kemudian hari.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan mengatakan opsi menggunakan kekuatan militer bukan pilihan utama. Alasannya hal itu berkaitan dengan undang-undang di Filipina yang mesti dihormati.
Saat ini pemerintah tengah fokus mengutamakan pengamanan ke depannya. Opsi yang muncul ke permukaan ialah mengganti jenis kapal pengangkut batu bara dari berkapasitas kecil ke yang besar. "Agar sulit dilakukan pembajakan," kata Luhut.
Tujuh anak buah kapal asal Indonesia kembali disandera kelompok Abu Sayyaf saat melintasi perairan Filipina. Belum juga dibebaskan, tiga WNI lain ditangkap di wilayah perairan Malaysia beberapa hari lalu.
ADITYA BUDIMAN