TEMPO.CO, Parepare - Penanganan empat kasus korupsi oleh Kejaksaan Negeri Parepare, Sulawesi Selatan, terkendala hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), terutama untuk mengetahui jumlah kerugian negara. “Kerugian negara merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi sebelum berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Parepare, Risal Nurul Fitri, saat ditemui Tempo di ruang kerjanya, Jumat, 29 Januari 2016.
Empat kasus korupsi itu, antara lain, penggelembungan harga dan penggunaan barang yang tidak sesuai spesifikasi dalam pengadaan ratusan lampu penerangan jalan umum pada 2014. Proyek yang dikelola Dinas Tata Ruang dan Pengawasan Bangunan itu menghabiskan anggaran Rp 1,8 miliar.
Sejak Maret lalu kejaksaan sudah menetapkan empat orang tersangka, yakni Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Sahruni; Direktur Pelaksana PT Wijaya Tekhnik Nusantara, Joseph; dan Direktur Utama PT Wijaya Tekhnik Nusantara, Rudianto.
Kasus lainnya adalah pengadaan 83 lapak untuk pelaku usaha mikro, kecil dan menengah pada 2012. Proyek dikelola Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM, dengan anggaran Rp 415 juta. Tiga orang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Kepala Dinas dan Kepala Bidang Perdagangan dan Perindustrian, Amran Ambar dan Rukmawati, serta Akri selaku pemilik perusahaan rekanan.
Ada pula penyelewengan dana kelompok tani dalam program pemeliharaan sapi bunting senilai Rp 600 juta pada 2012. Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan, Damilah Husein, serta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Dinas itu, Ridwan, dijadikan tersangka.
Satu kasus lagi yang tergolong besar adalah penggelembungan harga dalam pengadaan alat kesehatan RSUD Andi Makasau pada 2015. Proyek itu menghabiskan anggaran Rp 19 miliar. Ada unsur tindak pidana pencucian uang dalam kasus yang diperkirakan merugikan keuangan negara sekitar 8 miliar itu. Kejaksaan belum menetapkan tersangka karena penyidikan masih terus diperdalam.
Risal mengatakan, penyidik kejaksaan bisa memperkirakan kerugian negarai dari masing-masing kasus itu. Namun, sesuai ketentuan hukum, kerugian negara yang dinilai sah adalah hasil audit BPKP. Itu sebabnya ia berharap BPKP segera menyerahkan hasil auditnya.
Risal bahkan meminta BPKP bekerja secara profesional. Khusus untuk kasus pengadaan alat kesehatan, kejaksaan telah melakukan eskpose di Kantor BPKP Perwakilan Sulawesi Selatan di Makassar.
Hasil ekspose diakui Risal sungguh mengecewakan. BPKP menyatakan tidak ada kerugian negara. “Kami meyakni perbedaan harga yang signifikan sebagai bentuk mark-up, tapi BPKP menilainya wajar sebagai keuntungan atau fee perusahaan rekanan,” ujarnya, sembari mengatakan kejaksaan telah mengontongi data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang menyebutkan kepada siapa saja uang hasil mark-up itu mengalir.
Kepala BPKP Sulawesi Selatan, Deni Suardini, mengatakan audit kerugian negara beberapa kasus korupsi di Parepare masih terus berjalan. "Perhitungan kerugian bukan hal yang mudah," ucapnya sembari membantah kerja tim audit lamban. “Proses audit membutuhkan waktu yang lama dan yang kami audit juga banyak dari daerah lain.”
Deni tidak bisa merinci satu persatu kasus korupsi yang diaudit. Namun ia menjamin tim audit BPKP bekerja secara profesional. "Kami berkomitmen dalam penegakkan hukum, termasuk memberantas korupsi,” tuturnya.
DIDIET HARYADI SYAHRIR | AKBAR HADI