TEMPO.CO, Yogyakarta - Anak perempuan Sudarman kini tengah ketakutan. Sekretaris Forum Komunikasi Komite SMP Kota Yogyakarta itu mengatakan anaknya tengah mengalami trauma.
"Anak saya shock. Tidak berani keluar rumah sendirian," kata Sudaman saat menceritakan kisah anaknya dalam diskusi "Darurat Klithih" di gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DIY, Kamis siang, 15 Desember 2016.
Di Yogyakarta, istilah kekerasan dengan menggunakan senjata tajam disebut dengan klithih. Istilah klithih ini juga merujuk pada kelakuan kenakalan anak yang sudah di luar batas kewajaran.
Anak Sudarman pernah mengalami kejadian yang menakutkan saat menghentikan laju motornya di pemberhentian lampu lalu lintas. Lampu merah tengah menyala. Namun motor di belakangnya menyodok ban belakangnya agar melaju. Siswi SMA itu tetap bertahan. Namun saat lampu hijau menyala, pengendara motor di belakangnya menyalip sembari mengacungkan celurit ke arahnya.
Peristiwa itu terjadi sehari sebelum siswa SMA Muhammadiyah 1 Yogyakara Adnan ditusuk di Bantul pada 12 Desember 2016 lalu. Akibat peristiwa itu, Adnan meninggal.
Menurut salah satu orangtua siswa SMA, Hazwan Iskandar Jaya, kekerasan yang dilakukan pelajar tak lepas dari keberadaan geng-geng yang eksis di sekolah-sekolah. Dia sempat mengumpulkan informasi dari sejumlah pihak. "Geng-geng itu faktanya ada. Bahkan terorganisir. Ada bandarnya," kata Hazwan yang juga Ketua Komisi Informasi Publik (KIP) DIY itu.
Dia mencontohkan. Anak buah yang ingin bertemu bos geng harus melewati sejumlah ring. Cara menembusnya dengan melakukan kekerasan sehingga pasti ada korban. "Yang bisa membacok orang dianggap levelnya tinggi," kata Hazwan.
Menurut Ketua Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta Achmad Charis Zubair kasus kekerasan yang melibatkan anak sebagai pelaku dinilai sudah mengkhawatirkan. "Tidak bisa dibayangkan. Anak berani melakukan tindakan yang biasa dilakukan penjahat," kata Achmad.
Upaya untuk meminimalisir kekerasan yang dilakukan anak-anak muda, menurut Hazwan, harus ada pendampingan dari orangtua terhadap anak-anaknya. Misalnya, mengawasi aktivitas anak di media sosial.
Juga menjalin kedekatan hubungan yang harmonis antara anak dengan orangtua. "Kalau anak minta sesuatu dengan menyertakan ancaman, itu sinyal merah orangtua," kata Hazwan.
Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Komite SMP Yogyakarta Lukman mengusulkan agar proses hukum diterapkan terhadap pelaku. Meskipun masih di bawah umur. "Upaya mengembalikan pelaku pada orangtua selama ini ternyata salah. Anak tidak jera," kata Lukman.
Achmad menawarkan tiga tahapan untuk mengatasi tindak kekerasan yang dilakukan anak. Jangka pendek adalah menangkap pelaku dan memenjarakan serta mencegah upaya balas dendam. "Orangtua jangan manas-manasin dengan isu SARA. Itu sensitif," katanya.
PITO AGUSTIN RUDIANA