Kepada Tempo, Sofyan Jalil mengakui adanya rapat ini. Tapi dia membantah memimpin rapat itu dan menyangkal asistennya ikut berunding. Sofyan mengaku tidak ingat isi rapat, apalagi biasanya rapat di kantor Wakil Presiden hanya merupakan tindak lanjut program pemerintah. “Saya tidak tahu apa ada keputusan diambil di sana, tapi rasanya ketika itu kantor Wapres tidak pernah lagi terlibat tentang masalah tersebut,” katanya, Senin, 31 Oktober 2016.
Pada pertengahan rapat kedua itu, Agus Rahardjo menyatakan lembaganya mundur dari pendampingan. Alasannya, Kemendagri dianggap tidak mempedulikan saran LKPP. Misalnya, perlunya paket pekerjaan dipecah menjadi sembilan sehingga perusahaan yang menggarap paket dapat fokus pada bagiannya. Agus Rahardjo menyebut Kemendagri juga tidak menerapkan lelang secara elektronik alias e-Procurement seperti yang disarankan lembaganya.
Belakangan, program e-KTP tetap berlangsung. Lelang proyek usulan Kemendagri itu dimenangkan Konsorsium Percetakan Negara RI dengan nilai Rp 5,9 triliun. Pada 22 April 2014, KPK menetapkan Sugiharto, pejabat pembuat komitmen proyek itu, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP. Akhir September 2016, KPK menetapkan juga Dirjen Dukcapil, Irman, sebagai tersangka, sekaligus menyatakan kasus itu disinyalir merugikan keuangan negara hingga lebih dari Rp 2 triliun.
Hingga Senin malam, 31 Oktober 2016, Agus Martowardojo belum merespons permintaan wawancara yang diajukan Tempo. Dia juga tidak menjawab pertanyaan yang dikirim Tempo melalui WhatsApp, meskipun tampak telah terbaca. Pada hari yang sama, Tempo juga berupaya meminta tanggapan Boediono. Namun nomor telepon selulernya tidak aktif. Yopie Hidayat, juru bicara saat Boediono menjadi Wakil Presiden, memilih tak berkomentar. "Saya tidak bisa merepresentasikan Pak Boediono," katanya, Senin, 31 Oktober 2016.