TEMPO.CO, Jakarta - Pembatalan 3.143 peraturan daerah oleh Kementerian Dalam Negeri dianggap tidak perlu melalui judicial review ke Mahkamah Agung. Pembatalan cukup dilakukan Menteri Dalam Negeri dan dengan dasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Jadi tidak benar kalau dikatakan harus dibawa ke lembaga peradilan. Baca dulu patokannya, UU Nomor 23 Tahun 2014," kata Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis, 16 Juni 2016.
Widodo mengatakan tata cara pembatalan perda diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU 32 Tahun 2004. Kedua peraturan itu mengatur tentang pemerintahan daerah. Namun, dalam kedua peraturan itu ada perbedaan tentang tata cara pembatalan perda.
Menurut Sigit, pada UU No 32 Tahun 2004, Kemendagri hanya bisa membatalkan perda untuk empat peraturan, yaitu terkait dengan pajak daerah, restitusi daerah, APBD, dan RTRW.
"Lainnya harus diminta judicial review," kata Sigit.
Namun dengan terbitnya UU 23 Tahun 2014, dia melanjutkan, produk hukum kabupaten/kota bisa dibatalkan gubernur, dan produk hukum di provinsi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri. Untuk kasus tertentu bila gubernur tidak membatalkan perda kabupaten/kota yang dianggap bertentangan, Menteri Dalam Negeri bisa membatalkannya.
"Itu bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri. Dengan pertimbangan, ini domain executive review," kata Sigit.
Apabila perda kabupaten/kota yang dibatalkan gubernur tidak diterima pemerintah kabupaten/kota, mereka boleh banding ke Menteri Dalam Negeri dalam waktu 15 hari. "Itu semua diatur dalam UU 23/2014," kata Sigit.
Sekretaris Jenderal Kemendagri Yuswandi A. Temenggung mengatakan dari 3.143 peraturan yang dibatalkan, ada 1.765 peraturan di tingkat provinsi, 1.276 peraturan di tingkat kabupaten/kota, dan 111 Peraturan Mendagri yang dibatalkan.
"Secara rutin kajian dilakukan dan kami sampai pada jumlah 3.143 peraturan yang dibatalkan," kata Yuswandi. Dia mengatakan langkah tersebut diamanatkan UU 23/2014, khususnya Pasal 251 ayat (1), (2), dan (3).
Yuswandi mengatakan perda dibatalkan untuk menjaga konsistensi dengan peraturan di atasnya. Selain itu, ada peraturan yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
"Secara otomatis, peraturan di bawahnya tidak berlaku dan dibatalkan," kata Yuswandi.
Parameter lain perda yang dibatalkan adalah tidak menghambat investasi, tidak bertentangan dengan kepentingan umum, dan tidak menghambat percepatan pelayanan publik, termasuk percepatan pelayanan investasi dan bisnis.
AMIRULLAH