TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati menyebut beberapa faktor penghambat penelitian di Indonesia. Peneliti Indonesia, kata Dimyati, masih belum diapresiasi dengan baik.
"Di luar negeri, peneliti kita lebih produktif, karena kondisinya nyaman. Balik ke Indonesia, mereka jadi tidak produktif," ucap Dimyati di gedung Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi, Kamis, 18 Juni 2015.
Di Indonesia, ujar Dimyati, peneliti harus berurusan dengan hal-hal teknis penggunaan anggaran, seperti kuitansi pembayaran. Di luar masalah penelitian, mereka juga harus memikirkan ada-tidaknya anggaran. Kondisi itu disebut Dimyati membuat konsentrasi peneliti terganggu.
Tak hanya itu, Dimyati menuturkan anggaran pemerintah untuk penelitian sering kali tak mengenal sistem multiyear atau tahun jamak. Penelitian yang harus berjalan bertahun-tahun terkendala karena anggaran yang hanya turun pada tahun pertama.
Menurut Dimyati, imbalan yang didapat peneliti untuk pekerjaannya masih sangat kecil. "Pendapatan peneliti yang kerja puluhan tahun masih jauh lebih kecil dibanding artis yang baru bekerja," katanya.
Indonesia, ucap dia, masih tertinggal jauh oleh negara tetangga, seperti Malaysia. "Jumlah penelitian semua universitas ternama di Indonesia masih kalah dibanding satu universitas di Malaysia," ujar Dimyati.
Di bawah Menteri Muhammad Nasir, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berencana menggenjot karya peneliti Indonesia. Salah satu caranya, menyamakan topik penelitian dengan kebutuhan industri.
Dimyati menuturkan, selama ini, penelitian yang dilakukan sering kali bukan yang dibutuhkan industri. Akibatnya, banyak karya penelitian yang hanya berakhir di perpustakaan. "Menteri mendorong kebijakan agar ada matching antara inventor dan investor," katanya.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA