TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo memperpanjang masa berlaku instruksi presiden tentang pelarangan pemberian izin baru pengolahan hutan alam primer dan lahan gambut. Kebijakan yang dikenal sebagai moratorium tersebut sesuai dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mendukung perbaikan tata kelola hutan dan janji Indonesia menurunkan emisi 26 persen pada 2020.
Presiden menyatakan persetujuan perpanjangan moratorium tersebut kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di Istana Negara, Rabu, 13 Mei 2015. “Sampai dengan pembahasan terakhir, masih banyak usulan untuk perubahan penguatan terhadap pelaksanaan inpres tersebut,” kata Kepala Pusat Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Eka W. Soegiri, seperti dipublikasikan situs Sekretariat Kabinet, Rabu lalu.
Kebijakan ini melanjutkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang masa berlakunya berakhir pada Rabu lalu. Inpres ini hanya berlaku dua tahun.
Menurut Soegiri, pembahasan penguatan inpres tersebut akan dilakukan pemerintah dengan melibatkan sejumlah kementerian terkait dan elemen pengusulnya. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Wahana Lingkungan Hidup, Kemitraan, Sawit Watch, dan World Resources Institute, mendesak pemerintah melanjutkan kebijakan moratorium yang dicetuskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011 itu.
Kebijakan pembatasan pembukaan hutan ini diambil setelah pemerintah Indonesia dan Norwegia pada 2010 meneken surat pernyataan niat mengurangi emisi CO2 dengan kompensasi US$ 1 miliar dari Norwegia. Penerbitan kebijakan tersebut merupakan upaya menurunkan tingkat deforestasi.
Luas hutan alam primer dan lahan gambut yang perlu dilindungi, menurut Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030, mencapai 28,39 juta hektare. Selain itu, 13,5 juta hektare hutan berada dalam kondisi kritis, sehingga perlu direhabilitasi.
Apakah kebijakan moratorium yang telah berjalan tiga tahun ini berhasil? Ternyata gagal. Hasil penelitian terbaru Kemitraan dan Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan lahan gambut seluas 914.067 hektare atau setara dengan 9.140, 6 kilometer persegi hilang dalam tiga tahun selama kebijakan moratorium kehutanan di Indonesia.
Lahan seluas itu dikeluarkan dari peta moratorium secara bertahap setiap enam bulan sejak 2011. Luas lahan gambut yang hilang itu hampir setara dengan luas Hong Kong. Kota bagian dari negara Cina itu memiliki luas 1.092 kilometer persegi.
Temuan yang dipublikasikan pada 29 April 2015 itu merupakan hasil riset spasial terhadap lokasi hutan yang masuk peta moratorium di empat provinsi: Jambi, Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah, sepanjang 2011 sampai akhir 2014.
Menurut anggota tim analisis Kemitraan, I Nengah Surati Jaya, empat daerah itu dipilih karena memiliki luas lahan gambut sangat besar, relatif sering terjadi bencana kebakaran hutan, dan banyak lahan yang diubah menjadi perkebunan. “Perkebunan diyakini salah satu penyebab meningkatnya laju deforestasi di hutan alam primer dan lahan gambut,” kata Nengah, pertengahan April lalu.
Direktur Eksekutif Walhi Abetnego Tarigan mengatakan pemerintah seharusnya mengubah pola moratorium yang berbasis periode tertentu menjadi berbasis pencapaian dengan indikator perbaikan tata kelola hutan yang lebih terukur dan jelas.
Misalnya penyelesaian tata batas kawasan hutan, penyelarasan peraturan, review perizinan, penyelesaian konflik lahan, serta penurunan kebakaran lahan dan hutan. “Juga penegakan hukum,” katanya.
AHMAD NURHASIM