TEMPO.CO, Tuban -Pabrik semen PT Holcim Indonesia Tbk menganggap proses tukar guling atau ruislag kawasan hutan milik PT Perhutani di Tuban, Jawa Timur, dengan lahan di Blitar, juga di Jawa Timur, sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku. Proses itu diprotes ratusan warga asal Desa Ringinrejo, Blitar, yang kemudian bergerak ke Jakarta untuk rencana unjuk rasa di Kedutaan Besar Swiss, Senin 20 April 2015.
“Yang kami lakukan sudah sesuai prosedur,” ujar Legal and Corporate Affair Director PT Holchim Indonesia Tbk, Farida Helianti Sastrosatomo, dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin 20 April 2015.
Farida menjelaskan, proses tukar guling berawal pada 1990, saat PT Semen Dwima Agung (PT SDA), anak perusahaan PT Holcim Indonesia Tbk, mengajukan pembukaan lahan hutan milik PT Perhutani Tuban. Lahan tersebut diperuntukkan sebagai pengembangan perluasan kapasitas produksi.
Sebagai kompensasi, PT SDA membeli lahan eks perkebunan PT Gondang Tapen di Blitar pada 1996. Selang dua tahun, tanah itu dilepaskan menjadi tanah negara. “Lahan kompensasi itu diserahterimakan PT SDA ke PT Perhutani sesuai penunjukkan dari Kementerian Kehutanan pada 15 Juni 1998.”
Dalam proses tukar guling itu disertakan syarat reboisasi yang dilakukan PT SDA. Proses reboisasi menjadi terhambat bahkan tertunda, karena banyak petani yang dituding ikut mengelola lahan itu.
Setelah melalui beberapa kali mediasi sejak 2008, akhirnya pada 2010, disetujui hibah lahan dari PT SDA sebesar 48,9 hektare untuk digarap petani. Tetapi, petani menarik diri dari kesepakatan itu. Kemudian dilakukan negosiasi ulang pada 2011 dan PT Holcim hendak menghibahkan lahan tambahan sehingga total luas 72,4 hektare dari sebelumnya 48,9 hektare.
“Tetapi, hibah tertunda karena masih dalam proses hukum,” ujar Juru Bicara PT Holcim pabrik Tuban, Indriany Siswati, menambahkan. Dia menunjuk delapan komunitas di Ringinrejo yang dikenal dengan sebutan Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta. Menurut Indriany, gugatan itu telah ditolak karena petani dianggap tidak pernah secara hukum mmiliki hak atas tanah di Ringinrejo.
Sebelumnya, Farhan Mahfudzi, penggiat Solidaritas Masyarakat Desa (Sitas Desa) Blitar, mengungkap kekhawatiran warga yang diwakilinya akan rencana pembangunan pabrik semen di Tuban. Dia menyatakan, pembangunan itu sama saja akan menggusur lahan pertanian dan tempat tinggal warga di Ringinrejo, Blitar.
Warga menuding PT Holcim menggunakan cara-cara tidak obyektif untuk menempuh kesepakatan agar warga bersedia menerima kompensasi lahan seluas 40 hektare. "Mereka menggunakan petani dari luar desa sebagai perwakilan warga untuk tanda tangan," kata Farhan.
Saat ini Sitas Desa bersama lembaga swadaya masyarakat lain yang tergabung dalam Konsorsium NGO -- antara lain beranggotakan ELSAM dan Konsorsium Pembaruan Agraria -- tengah membawa persoalan ini ke National Contact Point Switzerland. Mereka berharap kasus ini akan mendapat perhatian serius dari forum internasional.
SUJATMIKO