TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB) belum menerima kejelasan memorandum of understanding (MoU/nota kesepahaman) yang melibatkan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dan pemerintah Indonesia setelah terhalangnya ekspor konsentrat sejak awal Januari 201.
MoU memungkinkan perusahaan memperoleh izin ekspor konsentrat tembaga pada Kamis, 4 September 2014. Penandatanganan surat izin dilakukan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral R. Sukhyar dan Presiden Direktur PT NNT Martiono Hadianto. (Baca:Besok, Newmont Teken MoU Renegosiasi Kontrak )
PT NNT telah setuju membayar bea keluar dengan tarif sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang dikeluarkan pada Juli 2014; menyediakan dana jaminan keseriusan senilai US$ 25 juta sebagai bentuk dukungan terhadap pembangunan smelter; membayar royalti 4,0 persen untuk tembaga, 3,75 persen untuk emas, 3,25 persen untuk perak; serta membayar iuran tetap (dead rent) US$ 2 per hektare.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi NTB M. Husni mengaku belum mendapatkan bukti nota kesepahaman tersebut. "Mana bukti MoU yang diteken? Kami wait and see," kata Husni menjawab Tempo, Jumat siang, 5 September 2014.
Menurut dia, cepat-lambatnya pengoperasian kembali tambang Batu Hijau tergantung pada pemenuhan permintaan pemerintah Indonesia oleh PT NNT. Sebelumnya, 27 Agustus 2014, Newmont merilis keputusannya mencabut gugatan arbitrase karena kesulitan melakukan ekspor konsentrat.
Setelah menghentikan produksi tambangnya sejak pekan pertama Juni lalu, NNT dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership BV (NTPBV), badan usaha yang berbadan hukum Belanda, mengumumkan pengajuan gugatan arbitrase internasional terhadap pemerintah Indonesia pada 1 Juli lalu.
Pengajuan gugatan tersebut terkait dengan larangan ekspor yang mengakibatkan kegiatan produksi tambang Batu Hijau dihentikan dan menimbulkan kesulitan serta kerugian ekonomi terhadap para karyawan PT NNT, kontraktor, dan para pemangku kepentingan lain. (Baca:Renegosiasi Newmont, Apa Saja yang Disepakati? )
PT NNT merupakan perusahaan tambang tembaga dan emas yang beroperasi berdasarkan Kontrak Karya Generasi IV yang ditandatangani pada 2 Desember 1986. Sebanyak 56 persen sahamnya dimiliki oleh Nusa Tenggara Partnership BV (dimiliki Newmont Mining Corporation dan Nusa Tenggara Mining Corporation of Japan). Tujuh persen saham NTPBV ada kemungkinan akan didivestasi kepada pemerintah melalui pembelian oleh sebuah badan di bawah naungan Kementerian Keuangan.
Pemegang saham lainnya adalah PT Pukuafu Indah sebanyak 17,8 persen, PT Multi Daerah Bersaing 24 persen (dimiliki oleh PT Multi Capital dan PT Daerah Maju Bersaing yang merupakan perusahaan patungan perusahaan daerah milik Pemprov NTB, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa), dan PT Indonesia Masbaga Investama 2,2 persen.
Kepemilikan saham hasil divestasi yang dilakukan PT NNT adalah perjuangan pemerintah Indonesia melalui sidang arbitrase yang menangani perselisihan. Sesuai dengan kontrak karya, Newmont berkewajiban mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada pihak nasional, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau perusahaan nasional sampai 2010.(Baca:SBY Anggap Newmont Rusak Rasa Keadilan)
Karena divestasi PT NNT dianggap default, pemerintah Indonesia meminta arbitrase memutuskontrak karya dengan NNT yang dinilai memiliki kesalahan yang paling fatal, yakni melanggar pasal 20, 21, dan 24 perjanjian kontrak karya. Berdasarkan pasal-pasal itu, Newmont dinilai tidak melaksanakan divestasi saham sesuai dengan waktunya. Yakni, divestasi saham tiga persen pada 2006 dan tujuh persen pada 2007. Sejatinya, permintaan pemerintah sederhana saja: Newmont segera menyelesaikan kewajiban divestasi saham sesuai dengan kontrak karya.
Sidang arbitrase digelar untuk membuktikan apakah Newmont lalai atau tidak. Jika arbitrase memutuskan Newmont lalai, pemerintah akan memutus kontrak karya. Sebelum gugatan itu diajukan ke arbitrase, pihak Newmont gencar melobi pemerintah Indonesia .
Pemprov NTB, Pemerintah Kabupaten Sumbawa, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat menghendaki divestasi saham dilakukan secara business to government (B to G). Sebab, kalau diberlakukan bussines to bussines (B to B), divestasi ini akan membuka peluang bersaing bagi pemerintah daerah dan perusahaan. Pemerintah daerah bakal berat menghadapi persaingan tersebut. Ini adalah sikap terakhir setelah gagalnya pertemuan yang difasilitasi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal waktu itu, M. Lutfi, di Jakarta.
SUPRIYANTHO KHAFID
Baca juga:
IP Address Penghina Ridwan Kamil di Jakarta
'Polisi Syariat' Berpatroli di Jerman
Ahok Pede Kasus Bank DKI Tak Ganggu Kinerja
Di Maria Punya Guru Bahasa Inggris Pribadi
Siswa SMP di Sumenep Diadukan Cabuli 8 Anak
Eks Bupati Aru Thedy Tengko Meninggal di Penjara