TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Informasi Pusat menyatakan Tentara Nasional Indonesia harus mengklarifikasi kebenaran dokumen Dewan Kehormatan Perwira yang berisikan pemecatan Prabowo Subianto dari dinas militer. Validasi isi dokumen dilakukan sebelum TNI melaporkan dugaan pembocoran dokumen tersebut ke kepolisian.
"TNI belum melakukan uji konsekuensi atas informasi itu, sehingga status kerahasiaannya masih bisa dipersoalkan," ujar anggota Komisi Informasi Pusat, Rumadi Ahmad, melalui siaran pers, Jumat, 13 Juni 2014. (Baca: Anggota DKP Benarkan Isi Dokumen Pemecatan Prabowo)
Menurut Rumadi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengatur ihwal lembaga yang berhak menentukan status kerahasiaan sebuah informasi. Menurut dia, lembaga yang memvalidasi itu harus yang memproduksi, menguasai, dan menyimpan informasi tersebut. Dalam kasus dokumen Dewan Kehormatan Perwira, kata dia, badan publik tersebut adalah TNI. (Baca: Jika ke Mahmil, DKP: Prabowo Bisa Dihukum Mati)
Hingga saat ini, ujar Rumadi, TNI belum melakukan uji konsekuensi atas informasi tersebut. Karena itu, status kerahasiaan dokumen tersebut masih belum jelas. Dia menilai langkah TNI melaporkan pembocor dokumen ke kepolisian menjadi tidak relevan. "Tidak relevan jika dilaporkan. Panglima TNI perlu segera mengklarifikasi." (Baca: Soal Pemecatan Prabowo, Para Jenderal Bersitegang)
Pekan lalu dokumen pemecatan Prabowo dari dinas kemiliteran beredar. Dokumen yang terdiri dari empat halaman itu diterbitkan Dewan Kehormatan Perwira dan mencantumkan status rahasia di dalamnya. Dua orang yang menandatangani dokumen tersebut, Agum Gumelar dan Fachri Razi, telah membenarkan isi dokumen itu. Kop dokumen sendiri menyebutkan Dewan Kehormatan Perwira berada di bawah kendali Markas Besar TNI. Namun Markas Besar TNI hingga kini belum mengklarifikasi kerahasiaan dokumen. (Baca: Penculikan Aktivis, Prabowo: Saya Bertanggung Jawab)
MONIKA PUSPASARI
Terpopuler
Keluarga Korban Penculikan Temui Pimpinan DPR
Puasa Perbarui Sistem Kekebalan Tubuh
MA Hukum KPK Bayar Rp 100 Juta