TEMPO.CO, Makassar - Kepala Bagian Hubungan Masyarakat SKK Migas Handoyo B. Santoso mengatakan PT Chevron Pasific Indonesia tertarik menggarap potensi gas di Selat Makassar. Nilai investasi PT Chevron yang akan masuk mencapai US$ 12 miliar. Diperkirakan pada 2015 mendatang gas dari Selat Makassar sudah bisa diproduksi.
"Selat Makassar telah masuk proyek pengeboran gas di tengah laut atau Indonesia Deep Water Development (IDD) PT Chevron Pasific Indonesia," kata Handoyo di sela seminar gerakan sadar energi di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), Kabupaten Gowa, Senin, 9 Juni 2014.
Jika terealisasi, menurut Handoyo, akan menguntungkan pemerintah pusat dan daerah. Gas di Selat Makassar akan menarik minat perbankan, meningkatkan usaha lokal, dan menyediakan lapangan kerja untuk masyarakat lokal.
"Pasti akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat lokal. Intinya pemerintah daerah pasti dilibatkan," dia menjelaskan.
Sekretaris Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulawesi Selatan Syamsul Bahri mengatakan pihaknya menawarkan lahan gas di blok Spermonde, Pare Pare, dan blok Takabonerate. Namun rencana eksplorasi gas PT Chevron belum disampaikan kepada pemerintah provinsi. Pihaknya juga belum tahu secara pasti lokasi ladang pengeborannya.
"Sudah ada beberapa lahan gas yang kita tawarkan kepada investor," katanya.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Saleh Abdurrahman mengatakan potensi gas bumi Indonesia memang masih cukup besar. Apalagi produksi gas cenderung meningkat.
Cadangan gas Indonesia berkisar 1,6 persen dari cadangan dunia atau sekitar 152,9 TSCF. Adapun cadangan di Sulawesi sekitar 2,58 TSCF.
"Tapi kita masih terkendala pada ketersediaan infrastruktur," ia mengungkapkan.
Kebutuhan energi diproyeksikan tumbuh stabil pada kisaran 5 persen. Ketergantungan pada minyak bumi pun masih sangat tinggi atas bauran energi primer nasional, sekitar 49 persen. Ketergantungan terhadap impor juga meningkat. Sedangkan produksi minyak bumi cenderung turun secara alamiah. Subsidi energi masih tetap tinggi karena pada tahun 2013 mencapai Rp 299 triliun.
"Semua ini sangat melimpah di Indonesia," katanya.
MUHAMMAD YUNUS