Agung menambahkan, biasanya lokasi operasi yang sebenarnya tak jauh dari lokasi yang dijadikan kamuflase. Soalnya, tempat penyamaran itu dimanfaatkan untuk memancarkan sinyal untuk akses Internet melancarkan aksi penipuan.
Jaringan ini juga menyamarkan jejak para operator dengan sering berpindah-pindah. Para operator masuk ke Indonesia dengan menggunakan visa kunjungan selama satu bulan, kemudian diperpanjang. Setelah visa hampir habis, operator tersebut akan diganti oleh operator lain yang sudah direkrut.
Agung mengatakan tidak mudah untuk mencegah orang-orang ini masuk ke Indonesia, termasuk oleh pihak Imigrasi. “Mereka masuk ke Indonesia dengan dokumen resmi sehingga sulit terdeteksi. Kedatangan mereka juga tidak bergerombol. Setelah sampai di sini, baru dikumpulkan oleh sponsor mereka di sini,” kata Agung.
Dari 90 orang yang ditangkap dalam operasi pada Kamis malam, 28 November 2013, 27 orang, di antaranya, warga negara Cina dan 63 orang warga Taiwan. Mereka terdiri dari 62 orang laki-laki dan 28 orang perempuan. Dalam penangkapan tersebut, polisi hanya menemukan 20 paspor dari Cina dan Taiwan.
“Sisanya kemungkinan dipegang oleh sponsor mereka yang membawa mereka ke Indonesia. Sponsor ini kami duga sudah lari,” kata Agung.
Agung mengatakan, sponsor ini ada warga negara Indonesia maupun warga negara Cina dan Taiwan yang sudah fasih berbahasa Indonesia. Dalam penindakan di Jakarta Pusat dan Tangerang Selatan ini, polisi juga menangkap tiga orang warga negara Indonesia.
Namun, Toni mengatakan, ketiga orang ini hanya bertugas sebagai juru masak dan supir. Dalam penggerebekan, penyidik menyita 20 paspor, telepon nirkabel, laptop, decoder, serta catatan hasil penipuan dan pemerasan.
BERNADETTE CHRISTINA MUNTHE