Kerja keras membawa Firdaus mudah mendapat pekerjaan selepas lulus dari UI. Sejumlah profesi pernah ia coba, seperti penyunting buku, dosen, juga manajer program di sejumlah perusahaan swasta. Namun tidak satu pun dari profesi itu yang lebih dari setahun dijalaninya.
Hingga akhirnya pada 1994 ia bergabung dengan Yayasan Pelita Ilmu, bentukan dosen-dosen UI. Di lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada bidang pendidikan itulah Firdaus merasa betah. Namun, pada 1999, lelaki berkulit sawo matang dan berkepala plontos itu memilih keluar. Ia kemudian membuat sekolah gratis untuk siswa SMP di sebuah rumah kontrakan di Gudang Peluru, Jakarta Selatan.
Dari yang semula siswanya hanya 15, sekolah gratis bikinan Firdaus sudah meluluskan lebih dari 1.000 siswa pada tahun ke-10. Bahkan, pada 2005, sekolahnya menjuarai lomba pengentasan kemiskinan paling inovatif yang diselenggarakan oleh Bank Dunia pada 2005. Namun, pada 2009, Firdaus memilih menutup sekolah gratis tersebut. "Tahun 2009 sudah banyak program sejenis. Saya pikir, saya mesti membantu anak miskin dengan cara lain lagi," ucapnya.
Dengan tabungan yang ada, ditambah bantuan dana dari masyarakat, Firdaus membuka panti asuhan dan bimbingan belajar gratis Remaja Masa Depan. Ratusan siswanya tidak cuma warga sekitar, tapi juga anak miskin yang tinggal di Bukit Duri, Manggarai, Menteng Dalam, juga Pancoran.
Adapun untuk biaya operasionalnya, kata dia, 90 persen dari masyarakat. Demikian juga tiga rumah milik yayasan di Tebet, semua dari sumbangan warga. "Dulu saya door to door minta sumbangan orang, tapi sekarang orang-orang datang ke sini untuk kasih sumbangan. Jadi, soal pendanaan tak pernah kesulitan lagi," kata pengagum bekas Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md.