TEMPO.CO, Jakarta - Semasa Orde Baru, ada adegan horor yang tayang tiap 30 September. Horor karena di stasiun televisi nasional memutar sebuah film berjudul Pengkhianatan G30 S-PKI. Di dalamnya banyak adegan berdarah dari penyiksaan para jenderal, tawa puas para penyiksa, hingga pengambilan mayat korban tragedi yang berlatar belakang kejadian tanggal terakhir di bulan September, 47 tahun silam.
“Film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI saat itu. Jadi memang ada semacam muatan politik,” ujar Amoroso Katamsi, pemeran Presiden Soeharto dalam film Pengkhianatan G 30S-PKI. Amoroso yang ditemui, Rabu, 26 September 2012, menuturkan bahwa memang kondisi PKI terhadap rakyat Indonesia seperti adanya film. “Tapi memang ada beberapa adegan yang berlebihan,” ujar pria 72 tahun itu.
Sejarawan Hilmar Farid menyatakan dengan tegas bahwa film tersebut adalah propaganda Orde Baru. “Dari segi produksi, kita lihat pembuatannya, ditangani langsung PPFN dengan restu Soeharto,” tulis dia dalam surat elektronik. Jadi, dari isi film pun mewakili pandangan Orde Baru tentang peristiwa 30 September. “Dan sejumlah fantasinya,” ia menambahkan.
Tempo, pada September 2000 silam, membuat jajak pendapat tentang pengaruh film yang disutradarai Arifin C. Noer ini. Hasil "indoktrinasi" lewat buku sejarah dan media propaganda itu sungguh dahsyat. Responden dari 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta) jadi begitu konservatif, menolak semua yang berbau PKI dan komunis.
Menurut sebagian besar responden, komunisme itu melulu paham yang anti-agama (69 persen) dan sangat radikal (24 persen). Meskipun komunisme sudah ditumpas puluhan tahun silam dari bumi Indonesia--dan tak laku dijual sebagai ideologi di berbagai negara--banyak yang masih percaya ia akan bangkit kembali (47 persen). Karena itu, separuh responden berpendapat, sebaiknya komunisme tak diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Buku-buku tentang komunisme juga sebaiknya dilarang beredar.
Sebagian besar responden juga percaya adegan dalam Pengkhianatan G30 S-PKI benar-benar terjadi. Padahal, faktanya belum tentu demikian. Sulami, seorang bekas anggota Gerwani, organisasi onderbouw PKI, contohnya, menyangkal adanya anggota kelompoknya yang menari-nari di Lubang Buaya sewaktu para jenderal dibawa ke sana, seperti yang digambarkan dalam film itu. Kepada majalah ini, Sulami bahkan menolak disebut terlibat dalam gerakan penculikan itu.
Hilmar menguraikan, film tersebut berhasil melanggeng kebencian terhadap PKI. “Sebab, film yang diputar tiap tahun itu menyebarkan cerita bohong tentang kejahatan di Lubang Buaya,” ujar dia. Dengan target generasi muda, menurut dia, Orde Baru berhasil menemukan cara yang efektif untuk menanamkan kebencian terhadap PKI. “Yang dengan sendirinya menambah kuat legitimasi Soeharto,” kata peneliti dari Indonesian Institute of Social History itu.
Menurut data Peredaran Film Nasional yang tertulis dalam situs filmindonesia.or.id., judul awal dari film Pengkhinatan G 30 S-PKI adalah SOB (Sejarah Orde Baru). Karya berdana Rp 800 juta tersebut menjadi film terlaris pertama di Jakarta, 1984, dengan 699.282 penonton. Jumlah ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga 1995. Tapi, ketika reformasi bergulir, pada September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengumumkan, film yang dibuat tahun 1982 ini tidak akan diputar atau diedarkan lagi, di samping film-film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1981). Alasannya, berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seorang Presiden.
Kini, memperingati kejadian 30 September, Tempo.co menulis sejumlah catatan tentang pembuatan film tersebut. Mulai dari kisah sutradara, pemain, dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan film termahal pada masanya.
DIANING SARI
Berita Terpopuler
Komentar Soeharto Usai Lihat Film Pengkhianatan G30S/PKI
Cerita Anak Jenderal D.I. Panjaitan Soal G30S/PKI
Film Pengkhianatan G30S/PKI, Propaganda Berhasilkah?
Kekuatan Film Pengkhianatan G30S/PKI Luar Biasa