TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, mengatakan tindakan aparat kepolisian menindak para pelaku terorisme cenderung lambat. Hal ini dikarenakan aksi polisi terbentur regulasi.
"Polisi memang lambat, tak bisa main garuk seperti dulu," kata Ansyaad dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR membahas tentang radikalisme dan terorisme, Rabu, 18 Mei 2011. "Sekarang acuannya KUHAP, jadi tak bisa lagi main tangkap seperti dulu."
Ansyaad membandingkan dengan kondisi sebelum reformasi ketika masih ada Undang Undang Subversi, serta ada Kokamtib dan intelijen yang memiliki wewenang besar. Siapa saja yang dianggap pelaku terorisme bisa langsung ditangkap. "Aksi gerak cepat itu menuai kritik keras karena dinilai tidak demokratis dan melanggar HAM," kata Ansyaad.
Saking kerasnya hukum, intelijen, dan aparat teritorial, menurut Ansyaad, masyarakat aman dari ancaman terorisme. "Kalau dulu orang masih ceramah saja, ceramah yang miring, mengajarkan menolak Pancasila, malamnya bisa tidak pulang," kata Ansyaad.
Sekarang, polisi harus mempunyai bukti untuk bisa menangkap orang yang menyebarkan kebencian atau paham anarkis. "Kalau hanya menangkap berdasarkan semangat masyarakat yang celaka kita dan negara kita akan tercemar," kata Ansyaad.
Menurut Ansyaad, para pelaku teroris yang muncul belakangan sangat militan terhadap Negara Kesatuan RI. Mereka dendam pada perlakuan pemerintah terdahulu terhadap orangtua dan kerabat mereka yang ditangkap sembarangan.
Pencegahan terorisme dapat dilakukan dengan cara penguatan hukum dan perundangan yang saat ini ada. Namun, bukan berarti memberlakukan kembali UU Subversi seperti yang diterapkan di era sebelum reformasi. Jika ingin aparat bisa mencegah bom, menurut Ansyaad, aturannya harus diperbaiki. "Tapi kita tidak ingin UU Subversi karena masanya sudah lewat," kata Ansyaad.
MAHARDIKA SATRIA HADI