TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Aisyah Aminy menilai seorang anak yang belum akil baligh atau dewasa tidak dapat diadili karena bukan subjek hukum pidana. Oleh karenanya, Aisyah menyarankan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak perlu ditinjau kembali.
"Perlu peninjauan kembali terhadap UU Nomor 3 Tahun 1997 khususnya tentang batas usia anak," kata Aisyah, ahli pemohon dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Selasa (11/05). Menurut Aisyah, anak berusia 7 tahun hingga memasuki masa akil baligh mempunyai kemampuan berpikir yang masih lemah.
Oleh karena itu, jika anak tersebut melakukan suatu tindak pidana, dia tetap harus bertanggung jawab namun tidak dengan cara dipidana. "Perlu dipertimbangkan apa perlu membawa ke pengadilan," ujarnya, "Atau bisa dijatuhkan hukuman berupa pendidikan yang khusus."
Menurut Aisyah, mayoritas ulama menyepakati bahwa dalam usia 15 tahun seorang anak sudah dapat dikatakan akil baligh. "Masa baligh wanita ditandai dengan haid atau hamil, laki-laki oleh mimpi yang mengeluarkan sperma, atau selambat-lambatnya mencapai usia 15 tahun. Kepadanya dapat diminta pertanggungjawaban atas semua tindak pidana yang dilakukan," jelas Aisyah.
Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (YPKPAM) mengajukan uji materi terhadap enam pasal yang ada dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dinilai melanggar UUD 1945.
Diantara pasal tersebut, penjelasan mengenai usia anak yang dapat diadili terdapat dalam Pasal 4 ayat 1. Pasal tersebut menyebutkan batas usia seorang anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurang 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah menikah. Selain itu, dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa anak yang belum mencapai usia 8 tahun dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik jika diduga melakukan tindak pidana.
NALIA RIFIKA