"Dulu kami harmonis, gara-gara perusahaan itu kami konflik dengan saudara sendiri," kata Usman, Koordinator warga Desa Amparaan.
Para pengunjuk rasa membawa poster, antara lain berisi hujatan terhadap SPE Petroleum yang disebut mengadudomba warga Bangkalan.
Usman menjelaskan konflik bermula saat SPE petroleum mensosialisasikan rencana uji seismik dan rencana pembebasan lahan warga Desa Amparaan. Semula warga menolak, namun akhirnya menyetujui salah satu titik koordinat eksplorasi diletakkan di desa itu. Petinggi Petroleum menjanjikan kesejahteraan bagi warga jika perusahaan jadi beroperasi di desa tersebut. Warga akan dipekerjakan di perusahaan itu. "Karena janji itu warga melunak," katanya.
Namun belakangan, tanpa pemberitahuan kepada warga Desa Amparan, SPE Petroleum memindahkan titik eksplorasinya ke Desa Batu Kaban, Kecamatan Konang. Pemindahan itulah, kata Usman, yang membuat warga Amparaan marah karena merasa dibohongi. "inilah yang membuat hubungan kami dengan warga Batu Kaban tidak harmonis, kami saling berprasangka buruk," ujarnya.
Anggota DPRD Bangkalan asal Kecamatan Konang Imam Supandi membenarkan adanya perselisihan warga tersebut. Dia bahkan menyebut SPE Petroleum sebagai jelangkung. "Dia datang tak kami undang, setelah diterima warga pergi begitu saja," tegasnya.
Selain menimbulkan konflik antar warga, cara-cara yang dilakukan SPE Petroleum dalam melakukan uji seismik dinilai Imam melanggar norma ketimuran. Seperti tidak meminta izin lebih dahulu kepada warga serta tidak melibatkan tokoh masyarakat.
Bahkan, selama beroperasi di Bangkalan, Imam mencatat SPE Petroleum hanya menimbulkan masalah bagi masyarakat. Nanyak akses jalan rusak, rumah warga retak-retak, sumur warga menjadi asin akibat kegiatan eksplorasi yang dilakukan. "Petroleum tidak membawa mamfaat, hanya menmibulkan masalah," ucapnya. MUSTHOFA BISRI.