TEMPO Interaktif, Banten - Sekitar 50-an Agensi Tenaga Kerja di Malaysia sudah gulung tikar akibat penghentian sementara pengiriman tenaga kerja informal Indonesia.
"Mereka tidak mendapat order lagi,"kata Direktur Tenaga Kerja Luar Negeri Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Iskandar Maula yang ditemui dalam perjalanan ke Terminal khusus Tenaga Kerja Indonesia di Selapanjang, Tangerang Banten, Rabu (28/10)
Kelimapuluh agensi itu merupakan bagian dari 300 agensi di Malaysia yang bekerjasama dengan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta. Di Indonesia, Ia menjelaskan, situasi tersebut belum terasa. "Pelaksana Penempatan belum ada yang tutup, tapi beban pelatihannya jadi bertambah," imbuhnya. Banyak tenaga kerja yang bertahan lebih lama di tempat pelatihan. Akibatnya potongan gaji yang akan dibebankan pada tenaga kerja usai peninjauan kembali nota kesepahaman (MoU) juga akan lebih besar.
"Ya sakit dahulu tidak apa-apa, itu juga nanti demi kebaikan mereka (TKI)," ujar Iskandar. Dampak moratorium diakuinya juga dirasakan warga Malaysia yang kesulitan memperoleh penata laksana rumah tangga. Jadi, lanjutnya, Malaysia itu juga terbebani akibatnya lamanya moratorium ini. "Saya yakin tahun ini selesai,"tegasnya.
Keyakinan tersebut diperkuat dengan disepakatinya beberapa poin seperti izin libur, paspor, upah standar. "Hanya tersisa cost structure," tambah Iskandar.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Abdul Malik Harahap mengungkapkan meski sudah dimoratorium, tapi ada indikasi terjadi pengiriman ilegal di 11 pintu pemberangkatan. "Masih banyak pengiriman di pelabuhan-pelabuhan itu," urainya.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mendengar kabar terjadi pengiriman terus menerus, meski terjadi moratorium. "Saya tidak bisa bayangkan, tapi banyak jumlahnya," jelasnya.
Menurut Muhaimin banyaknya tenaga kerja ilegal yang lolos tersebut bukan kewenangan Departemen. "Polisi yang bisa mengusut," ucapnya.
Mengenai masalah moratorium, Ia menguraikan masih ada dua masalah utama yakni standar gaji dan larangan menerima pekerja ilegal. Standar gaji kini masih jadi perdebatan apakah ditentutak pemerintah ataupun pasar (majikan atau agen).
Adapun bagi majikan yang menerima pekerja ilegal, Ia mengharapkan pemerintah Malaysia mau memperketat warganya. Muntik (tenaga kerja di Malaysia yang meninggal 27 Oktober lalu), urainya, merupakan contoh kasus lolosnya warga tak beridentitas resmi. "Saya tidak menyalahkan dia, dia sudah berusaha mandiri, tapi sistem harus dibenahi,"
Ia berjanji akan segera menyelesaikan peninjauan kembali nota kesepahaman ini. "Kalau satu bulan bisa selesai, ya satu bulan."
DIANING SARI