TEMPO.CO, Jakarta - Rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land (SWL) menuai penolakan dari nelayan sekitar. Mereka khawatir kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Ketua Bidang Advokasi dan Perlindungan Nelayan DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Misbahul Munir mengatakan proyek Kawasan Pesisir Terpadu SWL dipaksa menjadi PSN.
“Setidaknya 12 Kampung Nelayan Surabaya akan terdampak proyek ini,” kata Munir kepada Tempo, Rabu 4 September 2024.
Baca juga:
Pengembang proyek itu adalah PT Granting Jaya (Kenjeran Park). Pengembangan proyek itu telah mendapatkan izin dari Presiden Joko Widodo untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan reklamasi di pantai timur Surabaya.
Luas proyek ini mencapai 1085 ha untuk membangun pulau A, B, C dan D. Keempatnya berlokasi di zona kawasan areal tangkapan ikan dan konservasi Kota Surabaya.
Munir menyebutkan belasan kampung yang terdampak itu terdiri dari Nambangan, Cumpat, Kejawan, Kenjeran, Sukolilo, Larangan, Kalisari, Keputih, Tambak Wedi, Bandarejo, Tinjang, dan Wonorejo. Sekitar 8 ribu Kepala Keluarga (KK) nelayan tinggal di sana.
Menurut dia, para nelayan itu terancam kehilangan mata pencaharian karena wilayah melautnya akan hilang dan menjadi daratan. Selain itu, alur mata rantai perekonomian sektor perikanan juga akan terdampak. “Ini yang seharusnya dipikirkan juga oleh para pemangku kebijakan. Khususnya Wali Kota Surabaya,” papar Munir.
Munir mengatakan bahwa proyek ini merupakan bentuk penindasan dan perampasan ruang hidup nelayan. Sebab, pemerintah dan pengusaha selalu mengedepankan investasi skala besar.
Dampaknya, masyarakat pesisir semakin tersingkir. Budaya pesisir di Surabaya juga terancam hilang. “Ini menunjukkan bahwa negara abai dalam melindungi nelayan tradisional yang secara turun temurun mengelola ruang hidupnya,” tandas Munir.
Pilihan editor: Paus Fransiskus Sebut Empat Prinsip Hidup untuk Mencapai Perdamaian