TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar, dosen, mahasiswa, hingga alumni dari Universitas Padjadjaran atau Unpad menyampaikan Seruan Padjajaran Jilid II. Dalam seruan tersebut, sejumlah sivitas akademika Unpad menyinggung beberapa kejadian terkait Pilkada 2024. Di antaranya soal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), rencana pengesahan revisi UU Pilkada oleh DPR, hingga kekerasan aparat terhadap massa pendemo yang menolak revisi beleid tersebut.
“Kata-kata bijak Sunda mengingatkan ‘nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balarea’ (menjunjung tinggi hukum, berpijak pada ketentuan negara, dan bermufakat kepada kehendak rakyat),” seperti tertulis dalam pembukaan Seruan Padjadjaran Jilid II yang disampaikan Ketua Dewan Profesor Unpad Arief Anshory Yusuf pada Selasa, 27 Agustus 2024.
Para sivitas akademika Unpad menilai dinamika ketatanegaraan menjelang Pilkada 2024 bergerak ke arah yang mengkhawatirkan. Khususnya setelah Badan Legislasi atau Baleg DPR berupaya merevisi UU Pilkada setelah keluarnya putusan MK terkait pendaftaran calon kepala daerah.
Meski revisi UU Pilkada kemudian gagal karena rapat paripura pengesahannya tak kuorum, para sivitas akademika Unpad menganggap upaya DPR itu sebagai preseden buruk. Apalagi setelah adanya tindakan mengancam keselamatan dari aparat terhadap demonstrasi yang menolak revisi UU Pilkada. “Korban-korban berjatuhan di berbagai kota di mana demonstrasi dilakukan, termasuk Jakarta, Semarang, Bandung, Makasar,” kata Arief.
Seruan Padjadjaran menyatakan gerakan publik harus tetap terus mengawal Pilkada meski kini putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 telah sepenuhnya diadopsi dalam Pilkada 2024.
Arief mengatakan mereka berefleksi dari pelaksanaan Pilpres 2024 yang banyak terjadi pelanggaran. “Pengalaman Pilpres telah menunjukkan secara kasat mata bahwa pelanggaran etik dan hukum terjadi hampir di semua tahapan, yang menyebabkan terjadinya pemilu yang tidak adil akibat kontestasi yang tidak setara,” ucap Arief.
Maka dari itu, mereka menyatakan tidak mau hal serupa terjadi dalam Pilkada 2024 yang merupakan perwujudan demokrasi lokal.
Para sivitas akademika Unpad menyampaikan lima poin pernyataan dalam Seruan Padjadjaran Jilid II, yaitu:
1. Presiden beserta para jajarannya tidak menetapkan kebijakan, keputusan, serta tindakan yang dapat memengaruhi penyelenggaraan pilkada secara demokratis.
2. DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang menghentikan pembahasan RUU yang berpotensi melemahkan demokrasi dan negara hukum, terutama pada masa-masa akhir jabatan.
3. Aparat penegak hukum melakukan penegakan secara manusiawi dan bermartabat terhadap mereka yang menyampaikan pendapat melalui imbauan, demonstrasi, dan unjuk rasa.
4. Seluruh elemen masyarakat sipil dan insan akademik secara bersama-sama dan berkelanjutan melakukan pengawasan sebagai bentuk partisipasi kewargaan untuk menjamin masa depan demokrasi dan negara hukum di Indonesia.
5. Jika Presiden beserta jajarannya bersama-sama partai politik pendukung tetap mengeluarkan peraturan, kebijakan, keputusan dan tindakan yang memengaruhi dan membahayakan pilkada yang jujur, adil, bebas dan bermartabat, serta melakukan pembahasan RUU yang berpotensi melemahkan demokrasi dan egara hukum, kami menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat sipil dan insan akademik untuk melakukan perlawanan.
Sebanyak 216 orang sivitas akademika Unpad menandatangani seruan yang bertajuk “Rapatkan Barisan Mengawal dan Menjaga Demokrasi dan Konstitusi” itu. Naskah seruan tersebut, kata Arief, disusun bersama-sama oleh para sivitas akademika Unpad, salah satunya Guru Besar Fakultas Hukun Unpad sekaligus pengurus Dewan Profesor Unpad, Susi Dwi Harijanti.
Pilihan Editor: Pramono Anung Ungkap Percakapan dengan Megawati sebelum Maju Pilgub Jakarta