TEMPO.CO, Jakarta - Muhammadiyah menjadi pembicaraan publik usai memutuskan menerima izin usaha pertambangan atau IUP. Izin pengelolaan tambang itu ditawarkan oleh pemerintah kepada organisasi kemasyarakatan atau ormas keagamaan.
"Sudah diputuskan dalam rapat pleno PP Muhammadiyah sudah menyetujui," kata Pengurus Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas, Rabu, 24 Juli 2024, kepada Tempo.
Anwar mengatakan, persetujuan menerima IUP untuk ormas keagamaan itu berisi sejumlah catatan. Bunyi catatan itu, kata dia, jika Muhammadiyah memutuskan menerima dan mengelola tambang, maka pengelolaan harus dilakukan dengan menjaga lingkungan.
"Saya tahu Muhammadiyah jadi terima, tapi tolong masalah lingkungan, dampaknya diminimalisir," ujarnya.
Selain menjaga lingkungan, Muhammadiyah harus menjaga hubungan baik dengan masyarakat yang terdampak oleh tambang tersebut.
Sebab itu, mantan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini mengatakan, jika harus mengelola tambang, Muhammadiyah harus menjaga hubungan baik dengan masyarakat setempat. Namun, Anwar mengatakan, masyarakat setempat jangan mengedepankan emosi.
"Di situ ada hitung-hitungannya," tutur mantan Bendahara Umum PP Muhammadiyah itu menjelaskan isi catatan dari rapat pleno tersebut.
Dia menyatakan, rapat tersebut berlangsung sekitar dua pekan lalu. Sebelumnya, PP Muhammadiyah menyatakan akan menggelar rapat pleno pada Sabtu, 13 Juli 2024.
Pleno itu mengkaji kebijakan pemerintah soal izin tambang untuk ormas keagamaan. Termasuk memutuskan sikap jika mendapat tawaran mengelola tambang dari pemerintah.
"Muhammadiyah siap menerima dan siap mengelola," ujar dia.
Berikut latar belakang berdirinya Muhammadiyah di Tanah Air yang dilansir dari laman resminya.
Profil Muhammadiyah
Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan pada 18 November 1912 di Kauman, kota Yogyakarta.
Pendirian Muhammadiyah diawali oleh keberadaan Sekolah Rakyat bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan pada awal 1912.
Madrasah ini mengadakan proses belajar-mengajar pertama kali di dengan memanfaatkan ruangan berupa kamar tamu di rumah KH.
Ahmad Dahlan yang memiliki panjang 6 meter dan lebar 2.5 meter, berisi tiga meja dan tiga kursi panjang serta satu papan tulis. Pada saat itu ada sembilan santri yang menjadi murid di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan tanpa bantuan dan sumbangan dana orang lain. KH. Ahmad Dahlan mengandalkan harta bendanya untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam modern yang dibayangkannya.