TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait perubahan syarat pasangan calon peserta Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024, tidak dapat dijadikan sebagai bukti terjadinya tindakan nepotisme serta penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
"Menurut Mahkamah, adanya putusan MKMK nomor 2/MKMK/L/11/2023 yang menyatakan adanya pelanggaran berat etik dalam pengambilan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak serta merta dapat menjadi bukti yang cukup untuk meyakinkan mahkamah bahwa telah terjadi tindakan nepotisme yang melahirkan abuse of power Presiden dalam perubahan syarat pasangan calon tersebut," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat
Menurut Arief, pernyataan Jokowi bahwa presiden boleh berkampanye tidak dapat diterima nalar sehat dan etika yang peka. Ia dengan tegas menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi sebagai upaya menyuburkan politik dinasti dan nepotisme sempit.
Makna Nepotisme dan Abuse of Power
Nepotisme dan abuse of power terkadang dimaknai sebagai satu hal yang sama. Namun, keduanya adalah hal yang berbeda dan tak bisa disamakan. Nepotisme adalah praktik memberikan keuntungan atau jabatan kepada keluarga atau kerabat dekat, meskipun mereka tidak memiliki kualifikasi atau pengalaman yang diperlukan, tanpa mempertimbangkan orang lain yang lebih kompeten.
Sementara itu, abuse of power adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan (power) lebih tinggi untuk memanfaatkan wewenangnya demi kepentingan pribadi, kelompok, ataupun golongan. Orang yang rentan menggunakan abuse of power adalah pejabat publik, atasan di kantor, dan guru di sekolah. Jika abuse of power dilakukan oleh pejabat publik dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi.
Nepotisme merupakan tindakan yang cenderung Memberikan keuntungan kepada keluarga/kerabat. Sementara itu, abuse of power cenderung memanfaatkan wewenang yang dimiliki untuk kepentingan pribadi. Motivasi dari pelaku nepotisme biasanya adalah favoritisme atau untuk membantu keluarga. Sementara itu, motivasi dari abuse of power biasanya adalah untuk mendapat keuntungan finansial dan posisi politik.
Contoh tindakan nepotisme adalah beberapa pegawai yang bekerja di suatu lembaga atau instansi berasal dari keluarga yang sama. Ada lagi jika seorang pemimpin perusahaan berasal dari kampus A, maka pelamar yang juga berasal dari kampus A akan lebih diutamakan daripada pelamar lain.
Di sisi lain, contoh dari tindakan abuse of power adalah pejabat pemerintah yang menggunakan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau kroninya, misalnya menerima suap dari proyek tertentu. Ada juga pemimpin yang sewenang-wenang memecat karyawannya tanpa alasan yang sah. Abuse of power juga bisa terjadi saat penguasa memberi ancaman untuk mengontrol bawahannya.
Meskipun memiliki beberapa kesamaan, nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan adalah dua hal yang berbeda. Nepotisme berfokus pada memberikan keuntungan kepada orang-orang dekat tanpa mempertimbangkan kualifikasi, sedangkan penyalahgunaan kekuasaan berfokus pada memanfaatkan wewenang demi kepentingan pribadi. Keduanya merupakan praktik yang berbahaya dan dapat merusak berbagai aspek kehidupan masyarakat.
ANANDA RIDHO SULISTYA | MUTIARA ROUDHATUL JANNAH | RIZKI DEWI AYU
Pilihan Editor: Hakim MK Arief Hidayat Anggap Pemerintah Langgar Pemilu Secara Terstruktur dan Sistematis