TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Pers menyayangkan langkah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia melaporkan narasumber Tempo, yang memberitakan informasi kisruh pencabutan dan pemulihan izin usaha pertambangan atau IUP, ke Mabes Polri. Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menilai kriminalisasi dan intimidasi terhadap narasumber sangat berbahaya bagi kebebasan pers serta dapat dianggap sebagai intervensi terhadap independensi ruang redaksi.
“Narasumber bisa gamang dan takut dalam membeberkan pernyataan kritis terhadap isu sosial-politik,” kata Ade saat dihubungi pada Rabu, 20 Maret 2024. Ade menjelaskan narasumber sudah dilindungi Putusan Nomor 646 K/Pid.Sus/2019 UU Pers, yang pada pokoknya seseorang tidak bisa dikriminalisasi karena menjadi narasumber media.
Bahlil mendatangi Mabes Polri pada Selasa petang, 19 Maret 2024, untuk melaporkan narasumber Tempo yang memberitakan kisruh pencabutan dan pemulihan ribuan IUP. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal melaporkan narasumber itu dengan pasal pencemaran nama baik.
Kepada awak media di Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri usai menyampaikan laporan itu, Bahlil mengatakan ingin meluruskan berita yang terindikasi bahwa di Kementerian Investasi ada yang mencatut nama dia lewat proses perizinan pemulihan IUP.
Bahlil menganggap narasumber di liputan itu telah mencemarkan nama baiknya. Dia mengaku dirugikan. Terkait dengan daftar nama yang dilaporkan, Bahlil menyebut telah melaporkan sejumlah nama di internal Kementerian Investasi serta nama yang lain untuk dimintai keterangan polisi. “Saya tidak mengadukan Tempo, ya. Saya mengadukan orang yang mencatut nama baik saya,” katanya.
Perwakilan LBH Pers menyebut pelaporan Bahlil ini bisa berimbas pada publik yang bisa kehilangan akses pada informasi yang mendalam. Sebab, narasumber sudah melakukan sensor mandiri pada pernyataannya.
“Sehingga publik tak punya lagi referensi informasi yang kuat,” kata Ade Wahyudin.
Tanggapan Majalah Tempo atas Pelaporan Bahlil
Menanggapi laporan Menteri Bahlil, Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra mengatakan pelaporan itu sebagai hak pelapor. Namun, kata dia, pelaporan secara pidana itu bisa mengancam kebebasan pers karena menyasar para narasumber yang mengetahui informasi sebuah peristiwa.
Tempo, kata Setri, setuju menyembunyikan identitas para narasumber karena pertimbangan keamanan yang dijamin oleh Undang-Undang Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia. Dewan Pers yang menilai liputan tersebut juga telah menyatakan secara prosedural, liputan “Tentakel Nikel Menteri Bahlil” tersebut tidak melanggar kode etik.
Sebelumnya Bahlil sudah mengadu ke Dewan Pers. Salah satu keputusan Dewan Pers menyatakan penyembunyian identitas di dalam artikel Tempo soal dugaan permintaan atau penerimaan upeti dan saham, telah sesuai dengan Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik dengan penafsiran “penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.” Artinya, Tempo mempunyai hak tolak mengungkap identitas narasumber sesuai Pasal 4 ayat (4) Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Setri menyarankan agar Bahlil melaksanakan rekomendasi Dewan Pers, yakni memberikan hak jawab untuk menjelaskan duduk soal tata kelola izin usaha pertambangan dan perkebunan. Tempo, kata Setri, memberikan ruang yang lebar kepada Bahlil mengklarifikasi seluruh informasi dalam liputan tersebut. “Sebelum liputan terbit, kami sudah memberikan ruang itu, namun tak dimanfaatkan oleh Menteri Bahlil,” kata Setri. “Kini, melalui hak jawab, dia bisa memanfaatkan ruang itu kembali.”
Pilihan Editor: Isi Lengkap Keputusan Dewan Pers Soal Laporan Bahlil Terhadap Tempo
DANIEL A. FAJRI | ADVIST KHOIRUNIKMAH