INFO NASIONAL – Yati Meliana Kase memasukkan adonan ke dalam loyang kecil pencetak kue. Ia mendengarkan dengan saksama semua intruksi dari pengajarnya, Sutini, agar berhasil membuat nuget pisang.
Yati merupakan satu dari belasan peserta di kelas Pastry dalam acara “Pelatihan Kewirausahaan Pengolahan Makanan Siap Saji bagi Penyandang Disabilitas dan Kelompok Rentan” yang dihelat Kementerian Sosial di Sentra Efata, Kupang, 26 Februari-3 Maret 2024.
Perempuan lajang berusia 32 tahun ini merupakan disabilitas kongenital berupa bibir sumbing. Sebagai penerima manfaat (PM) yang dibina Sentra Efata, Yati sebenarnya telah tergabung dalam komunitas tenun ikat dan merangkai bunga. Namun, ia kembali ikut kelas pengolahan makanan agar peluang usahanya semakin luas.
“Supaya semakin besar penghasilannya,” ujar Tini yang disambut dengan anggukan oleh Yati. “Peminat kelas pengolahan makanan ini banyak, sampai full dan kita nggak bisa tampung semua. Minat mereka sangat tinggi,” Tini mengimbuhkan.
Selain kian lihai mengolah makanan, konsep pengajaran Tini di kelas ini memanfaatkan bahan pangan lokal yang mudah dijumpai. “Di sini banyak sekali pisang kepok dan daun kelor.”
Sebagai contoh, pisang kepok satu sisir biasanya dijual 10 ribu rupiah. Jika beli langsung ambil dari pohon bisa Rp 4 ribu. Jauh lebih murah dari kota besar seperti Jakarta yang menembus Rp 25 ribu.
Pohon kelor juga mudah ditemui di berbagai wilayah di Kupang. Sentra Efata telah memanfaatkan daun kelor melalui kelompok binannya untuk membuat berbagai produk turunan, antara lain serbuk kelor kering hingga teh kelor.
Dalam pembuatan nuget pisang, Tini mengajarkan peserta untuk memadukannya dengan daun kelor sebagai pewarna hijau. “Untuk menggantikan daun pandan. Kelor punya banyak manfaat kesehatan juga, dan rasanya tawar, tidak pahit, jadi cocok,” ucap pengajar dari Surabaya Hotel School ini.
Menurut Tini, penggunaan bahan pangan lokal juga menjadi instruksi Menteri Sosial Tri Rismaharini. “Ibu Risma kan sukanya makanan tradisional. Makanya, kita harus mencari budaya setempat ada bahan apa yang bisa kita olah jadi produk secantik mungkin.”
Dengan bekal bahan pangan lokal yang mudah dan murah, penerima manfaat yang ikut pelatihan bisa mengolah dan menjual dengan harga yang lebih tinggi. Selama kelas pengolahan makanan, peserta juga diajarkan cara menghitung biaya produksi dan laba, kemudian terakhir pelatihan pengemasan atau packaging.
Diharapkan, peserta manfaat yang menjadi pengusaha mikro dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, tidak bergantung dengan keluarga atau bantuan dari pemerintah. Kemandirian inilah yang menjadi tujuan graduasi dalam program PENA atau Pahlawan Ekonomi Nusantara.
PENA sedang digencarkan oleh Kemensos, dengan tujuan untuk membantu penerima bantuan sosial agar dapat mengembangkan kewirausahaan.
Ada berbagai kelas selama pelatihan satu pekan di Sentra Efata. Untuk kelas Pastry yang diajarkan oleh Tini, terdapat sekitar 12 jenis masakan yang diajarkan. Selain nuget pisang, ada pelatihan membuat cromboloni yang sedang viral, olahan kue jagung dan kelor, olahan pisang dan kelor, serta banyak lagi.
Di kelas lainnya ada pula kelas pengolahan kopi. Di provinsi Nusa Tenggara Timur, setidaknya ada lima jenis kopi lokal yakni kopi Manggarai, kopi Bajawa, Kopi Timor, Kopi Flores Timur, dan kopi Lembata.
Wilayah operasional Sentra Efata dalam menampung dan membina kelompok rentan dan penyandang disabilitas meliputi 22 kabupaten di NTT. Sebab itu, usaha pengolahan kopi lokal di wilayah ini memiliki potensi yang besar.
Kepala Sentra Efata, Tota Oceanna mengatakan turut melibatkan pendamping dari kabupaten selama pelatihan berlangsung. “Mereka harus tahu progresnya (penerima manfaat). Jadi 1 banding 5, satu pendamping untuk lima peserta,” ucap Tota.
Pelatihan kewirausahaan bagi 120 penyandang disabilitas dan kelompok rentan di Sentra Efata Kupang, 26 Februari hingga 3 Maret 2024. (TEMPO/Sandi Prastanto).
Sekilas informasi, Sentra Efata memiliki sejarah panjang. Berawal dari Sasana Penyantunan Anak pada 1979, kemudian berubah nama menjadi Panti Sosial Bina Remaja pada 1994. Berubah nama lagi pada 2019 menjadi Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus atau BRSAMPK.
Berdampingan dengan kompleks BRSAMPK, terdapat Panti Sosial Bina Remaja Rungu yang didirikan pada 1994. Lalu pada 2019 namanya berubah menjadi BRSPDSRW (Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara) dengan fokus yang lebih tajam pada rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas sensorik.
Pada 2022, berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 3 Tahun 2022, Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial BRSAMPK dan BRSPDSRW digabung menjadi Sentra Efata Kupang di bawah Kementerian Sosial.
Sentra Efata Kupang menyediakan layanan kesejahteraan sosial bagi berbagai kelompok, termasuk anak rehabilitasi, disabilitas, lansia, dan korban bencana. Sejak 1 Maret 2022 hingga 25 Februari 2024, sudah 4437 orang penerimaa manfaat yang dilayani di Sentra Efata. (*)