TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum atau KPU Hasyim Asy’ari mengatakan pihaknya menggelar rapat membahas dugaan jual beli surat suara Pemilu 2024 di Malaysia, Kuala Lumpur, Senin, 26 Februari 2024. Rapat itu melibatkan Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Kementerian Luar Negeri.
"Ya, ini kan kaitannya dengan itu, makanya harus kami murnikan lagi," kata dia kepada wartawan, di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 26 Januari 2024.
Selain kasus dugaan dagang surat suara ini, Hasyim mengatakan, pertemuan dengan Bawaslu dan Kementerian Luar Negeri ini, terutama membahas rencana pemungutan suara ulang atau PSU di Kuala Lumpur. Pemilu ulang ini dikhususkan untuk pemilih yang sebelumnya masuk kategori pemilih pos dan kotak suara keliling.
Menurut Hasyim, pemilih metode pos dan KSK akan coblos ulang dengan metode pemungutan suara KSK dan tempat pemungutan suara (TPS). "Nah, oleh Bawaslu direkomendasikan yang diulang adalah pemungutan suara untuk metode pos dan KSK," tutur Hasyim.
Dia menjelaskan, KPU sedang menyiapkan hal teknis tentang pelaksanaan PSU. Mulai dari rancangan kegiatan teknis hingga durasi waktu PSU. Dia mengatakan bahwa yang pertama dilakukan untuk PSU adalah perbaikan data pemilih.
Perihal jual beli surat suara, Hasyim menolak berkomentar banyak. Saat ditanya apakah pemberhentian tujuh petugas Panitia Pemilihan Luar Negeri atau PPLN Kuala Lumpur berhubungan dengan dugaan jual beli surat suara, "Maksudnya jual beli gimana? Siapa yang jual dan beli?"
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan modus jual beli suara terjadi Malaysia karena jumlah pemilih di negara ini sangat banyak. Juga pemilih menggunakan metode pos di Malaysia cukup besar. Dia perkiraan mencapai 60 persen dari jumlah DPT.
Selanjutnya, kata dia, surat suara yang disitribusikan PPPLN, hanya berhenti di kotak surat yang ada di apartemen. Warga negara Indonesia atau WNI, yang menjadi pemilih itu kebanyakan tinggal di apartemen bersama para majikannya. Dengan begitu, pengiriman surat suara melalui pos, pun hanya berhenti di kotak pos di apartemen itu.
"Nah, di situ banyak calo-calo surat suara yang menjaga kotak pos itu," kata dia saat dihubungi pada Ahad malam, 25 Februari 2024. Dia bercerita bahwa satu flat apartemen bisa menampung ribuan orang. "Misalnya ada sepuluh flat, berarti ada 10 ribu surat suara, kan," ujar dia. Wahyu mengatakan, satu surat suara dijual bisa seharga sekitar Rp 90 ribu-120 ribu.
Pilihan Editor: AHY Sebut Perseteruan dengan Moeldoko di Demokrat Sudah Lewat