TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM untuk menyoroti secara penuh soal Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS yang meninggal dunia.
“Ini masuk dalam domain penyelewengan terhadap aspek hak atas pekerjaan yang layak, maka Komnas HAM bisa didorong kemudian proaktif dalam konteks untuk menjamin penyelenggaraan pemilu yang berbasis HAM,” kata Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya, kepada Tempo, Senin, 26 Februari 2024.
Menurut dia, Komnas HAM punya kewenangan untuk pemantauan HAM dalam penyelenggaraan Pemilu. Dimas mengatakan, Komnas HAM bisa menyampaikan respon dan poin-poin kepada publik.
“Ke depan harus ada langkah perbaikan penyelenggara pemilu agar tak terjadi dan tak terulang, juga agar ke depan penyelenggara Pemilu bisa berlandaskan pedoman HAM dan dapat menjamin kesejahteraan,” ujarnya.
Dimas mengatakan, fenomena petugas KPPS yang meninggal bentuk tak memperhatikan aspek HAM. Apalagi, katanya, kejadian yang berulang sebagaimana 2019 sehingga bisa dipandang sebagai salah satu bentuk pengabaian hak atas pekerjaan yang layak.
“Kami memandang pertama ada muatan kerja yang tak proporsional dan tak sebanding dengan waktu dan upah yang diberikan. Kemudian tak ada proses screening atau upaya memitigasi situasi soal kesejahteraan KPPS. Logika ini yang mengantarkan kami kepada hak dasar atau HAM dalam konteks pekerjaan yang layak,” ujar Dimas.
Sebelumnya, KontraS menilai Komisi Pemilihan Umum atau KPU gagal melakukan evaluasi secara serius. Kendati KPU sudah membangun langkah antisipatif seperti melibatkan dinas kesehatan, skrining riwayat kesehatan, dan mengatur batasan umur, KontraS menilai upaya tersebut belum sepenuhnya efektif.
“Beban kerja yang sangat berat mulai dari pembuatan TPS hingga rekapitulasi suara menyebabkan para petugas yang terlibat mengalami kelelahan luar biasa. Pemilu 2024 diselenggarakan secara serentak dengan lima kotak suara. Secara umum pun, petugas KPPS rata-rata bekerja selama 24-36 jam kerja non-stop,” kata Wakil Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, saat konferensi pers di Kantor KontraS, Senen, Jakarta Pusat pada Jumat, 23 Februari 2024
Andi menuturkan, beban kerja itu tak manusiawi mengingat honor yang diterima sebesar Rp 1,1 juta. Sebab itu, kata dia, dalam standar Hak Asasi Manusia atau HAM, fenomena itu sudah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 38 Undang-Undang 39 Tahun 1999.
Pilihan Editor: Herzaky Tanggapi AHY Salaman dengan Moeldoko: Bagi Kami, Dia Not Forgiven and Not Forgotten