TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Iwan Satriawan menyebut, Indonesia perlu mengubah seleksi administrasi Hakim Mahkamah Konstitusi atau MK agar melahirkan hakim yang netral. Caranya dengan menyerahkan semua pemilihan ke Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
Menurut Iwan, MK punya peran penting sebagai check and balances terhadap pemerintah dalam kondisi seperti saat ini ketika tak ada oposisi di parlemen.
"Tapi MK juga dirusak, jadi ada sistem seleksi hakim MK yang harus kita perbaiki," kata Iwan dalam agenda Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Kamis, 22 Febuari 2024.
Saat ini, kata Iwan, 9 hakim MK dipilih masing-masing oleh presiden sebanyak 3 orang, DPR 3, dan Mahkamah Agung 3 orang. Jika tidak ada oposisi di parlemen, maka ada potensi ketidaknetralan pemilihan 6 hakim MK. Sedangkan 3 yang dipilih MA merupakan hakim karier dan diasumsikan netral.
"Walaupun faktanya tidak, karena ada paman Usman di sana," kata dia.
Jika ingin diubah, Iwan mengatakan sistem administrasi harus diubah dengan tidak membagi tiga bagian pemilihan hakim seperti yang dilakukan saat ini. Kelak, kata Iwan, pemilihan hakim MK langsung saja diserahkan kepada parlemen dengan syarat komposisi oposisi dan ruling party yang bagus.
"Sehingga nanti tidak ada yang mutlak, seperti Jerman. Kalau sekarang kita menirukan seperti yang di Korea, tapi tradisi politik kita tidak sama. Karena di Korea, walaupun ketentuannya sama, semua calon harus mengikuti confirmation hearing di parlemen terbuka," kata dia.
Sebab saat ini kata Iwan, Indonesia masih memegang model yang lama, sehingga tidak ada confirmation hearing. Sehingga publik tidak tahu proses terpilihnya Hakim MK.
"Presiden terserah presiden, DPR terserah DPR, MA terserah MA. Tidak ada confirmation hearing sehingga publik tidak tahu siapa yang jadi hakim MK. Tiba-tiba ini jadi. Itu yang kita harus ubah," kata Iwan.
Pilihan Editor: Beragam Pandangan Soal Hak Angket Dugaan Kecurangan Pemilu 2024 Usulan Ganjar