TEMPO.CO, Jakarta - Sivitas akademika di berbagai kampus di Tanah Air terus menyatakan sikap mengkritik Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Kritik tersebut disampaikan karena mereka menganggap Jokowi telah melenceng dari nilai-nilai demokrasi, terlebih menjelang Pemilu 2024. Hingga kini, tercatat tak kurang dari 40 perguruan tinggi yang menyatakan sikap serupa.
Menurut Arga Pribadi Imawan, Dosen Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada (UGM) institusi perguruan tinggi memang disiapkan sebagai salah satu kekuatan penyeimbang negara. “Jika negara atau pemerintah menuju ke arah yang tidak benar, maka tugas perguruan tinggi hadir dengan perhitungan saintifiknya atau sesuai dengan kapasitasnya untuk meluruskan pemerintah di jalan yang benar,” ujar Arga.
Namun, staff Election Corner di Fisipol UGM itu menggaris bawahi situasi menarik yang terjadi. Menurutnya, situasi saat ini yang dimulai dari UGM kemudian merambah ke perguruan lainnya, itu memang mengindikasikan ada kegelisahan yang sama antara perguruan tinggi di Indonesia.
“Walaupun titik penekanannya berbeda beda, tetapi mereka sepakat dengan salah satu kata bahwa demokrasi elektoral kita sedang berada di situasi krisis atau situasi yang akan mengembalikan Indonesia ke 25 tahun yang lalu,” kata Arga.
Hal tersebut, lanjur Arga, menjadi kekhawatiran bersama dan apa yang dilakukan perguruan tinggi adalah sewajarnya yang dilakukan sebagai salah satu penyeimbang kekuatan negara, “Jadi sesuatu yang lumrah karena kita melihat masa lampau bagaimana perguruan tinggi bisa menumbangkan rezim,” ujarnya.
Disinggung mengenai gerakan yang hanya menghitung hari dari pemilu, Arga tidak mempermasalahkan hal tersebut. Baginya, tidak ada kata terlambat untuk kemudian merespons kondisi ini.
Menurut Arga, pada mulanya kegelisahan publik atau perguruan tinggi melihat kepada kondisi yang masih bisa dibenarkan. Sebelumnya perguruan tinggi pun mempercayai pada sosok akademisi yang ada di lingkaran kursi kekuasaan untuk mengingatkan agar kembali pada jalur demokrasi yang diidamkan indonesia.
“Tetapi pada kenyataannya itu tidak terwujud, terakhir ketika putusan MK kemudian putusan lainnya yang berimplikasi besar pada situasi demokrasi kita terkait substansial elektoral kita yang bergerak mundur juga itu menjadi kegelisahan sehingga memunculkan gerakan kampus,” ujar Arga.
Arga pun menyadari ada upaya untuk membuat narasi tandingan. Namun, dirinya menganggap dalam konteks debat akademik hal tersebut tidak bisa dinafikkan. Menurutnya, sah-sah saja jika ada yang berseberangan dalam argumentasi.
“Tetapi juga saya merangkum dari pemberitaan yang ada, ini ada efek penggunaan kekuasaan yang menekan terhadap beberapa universitas yang bersuara sebagai pembanding terhadap suara kampus yang mengkuatirkan kondisi demokrasi,” ujarnya.
Menurutnya, di situasi seperti ini masyarakat tinggal lihat saja siapa yang rasionalitasnya paling kuat. “Kita akan melihat pada dua sisi mata uang dan mungkin publik harus lebih memilih mana yang lebih rasional terkait dengan alasan setiap perguruan tinggi mengadakan gerakan sosial politik,” tegas Arga.
Di sisi lain, Arga juga menyayangkan bahwa dalam konteks hubungan sains dan politik, Indonesia masih belum siap memasukkan pertimbangan saintifik ke dalam putusan-putusan politik..
“Kita bisa lihat beberapa keputusan MK yang ternyata secara saintifik, secara ilmu hukum dan politik itu melanggar etika politik. Hal tersebut menggambarkan hubungan sains dan politik memang terpisah di Indonesia. Itu yang juga saya rasakan dalam kontestasi politik saat ini,” kata dia.
Pilihan Editor: Kampus Bergerak Kritik Jokowi Partisan? Dosen Ilmu Politik UGM: Mereka Utamakan Scientific Calculation Dibanding Political Calculation