TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi tentang presiden dan menteri boleh berpihak di pemilu sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara. Ia menyebut pernyataan itu berpotensi akan menjadi pembenar bagi presiden sendiri, menteri, dan seluruh pejabat di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan dalam Pemilu 2024.
Selain itu, ia juga menyebut berpotensi membuat proses penyelenggaraan pemilu dipenuhi dengan kecurangan.
"Kami mendesak Presiden Jokowi menarik pernyataan bahwa presiden dan menteri boleh berpihak," kata Khoirunnisa Agustyati melalui keterangan tertulis, Rabu, 24 Januari 2024
Apalagi Presiden Jokowi memiliki konflik kepentingan langsung dengan pemenangan Pemilu 2024, yang disebabkan oleh Gibran Rakabuming Raka, anak kandungnya, menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
"Padahal, netralitas aparatur negara, adalah salah satu kunci mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang jujur, fair, dan demokratis," ujar Khoirunnisa.
Pernyataan boleh berkampanye atau memihak oleh Jokowi, kata dia, dipastikan hanya merujuk pada Pasal 281 ayat 1 Undang-Undang Pemilu. Dalam ketentuan pasal itu, tidak menggunakan failitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara, seperti diatur undang-undang; menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Padahal, dalam Pasal 282 UU Pemilu, terdapat larangan kepada “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”.
"Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara," ujar dia. Sehingga ada batasan bagi presiden dan pejabat negara lain, termasuk menteri tidak melakukan tindakan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu.
Menurut dia, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye. Dalam konteks ini, dia menjelaskan, jika ada tindakan presiden dalam bentuk apapun, jika dilakukan tidak dalam keadaan cuti di luar tanggungan negara, tetapi menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu pelanggaran pemilu.
"Termasuk tindakan menteri, yang melakukan tindakan tertentu, yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu adalah pelanggaran kampanye pemilu. Apalagi tindakan itu dilakukan tidak dalam cuti di luar tanggungan negara," tutur dia.
Pada Pasal 283 ayat 1, menurut Khoirunnisa, tertuang ketentuan yang mengatur soal pejabat negara, serta aparatur sipil negara, dilarang melakukan kegiatan yang keberpihakannya mengarah peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah kampanye.
Ketentuan ini jelas ingin memastikan, pejabat negara, apalagi selevel presiden dan menteri supaya tidak melakukan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan pada peserta pemilu tertentu.
"Bahkan larangan itu diberikan untuk ruang lingkup waktu yang lebih luas, sebelum, selama, dan sesudah kampanye," ujarnya.
Khoirunnisa menjelaskan, kerangka hukum di dalam UU Pemilu itu, dapat disimpulkan ingin memastikan semua pejabat negara yang punya akses terhadap program, anggaran, dan fasilitas negara, tidak menyalahgunakan jabatannya dengan menguntungkan peserta pemilu tertentu.
Pilihan Editor: Respons Ucapan Jokowi soal Presiden Boleh Memihak, Sudirman: Kita Kehilangan Sumber Keteladanan