TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan revisi UU IKN menjadi undang-undang pada 3 Oktober 2023. Pengesahan tersebut dilakukan di gedung DPR/MPR, Jakarta, melalui rapat paripurna ke-7.
Pemerintah beranggapan bahwa revisi UU IKN mampu menjadi landasan hukum untuk persiapan pembangunan dan pemindahan ibu kota negara sekaligus penyelenggaraan pemerintahan melalui otorita IKN. Pemindahan tersebut sebagai salah satu strategi untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi yang merata dan inklusif.
Dalam rapat tersebut, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyatakan bahwa tujuh dari sembilan fraksi di DPR setuju dengan revisi UU IKN. Tujuh fraksi tersebut adalah fraksi PDI Perjuangan, fraksi Gerindra, fraksi Golkar, fraksi Nasdem, fraksi PPP, dan fraksi PAN. Sementara itu, fraksi PKS menolak untuk meneruskan pembahasan pada tingkat dua, sedangkan fraksi Demokrat menyetujui dengan catatan.
Catatan fraksi Demokrat disampaikan oleh Ahmad Doli. Fraksi Demokrat berpandangan bahwa revisi UU IKN membuat otorita IKN memiliki wewenang sendiri untuk membuat perencanaan pengelolaan keuangan, pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan aset, pengesahan tanah, pembuatan peraturan perundangan, dan perjanjian kerja sama.
“Kewenangan khusus tersebut dianggap terlalu besar bagi sebuah lembaga setingkat kementerian dan berpotensi melahirkan kewenangan yang tumpang tindih, khususnya dengan kementerian atau lembaga lain,” katanya.
Fraksi Demokrat juga menganggap bahwa Otorita IKN akan memiliki tiga fungsi sekaligus, yaitu sebagai pemerintahan daerah khusus (Pemdasus), lembaga setingkat kementerian yang memiliki kewenangan seluruh kementerian, dan badan usaha otoritas (BUMO) yang secara fungsi sama dengan BUMN dan bisa mendapatkan suntikan modal negara.
Jika fungsi tersebut tidak dikelola dengan baik, fraksi Demokrat khawatir hal tersebut dapat menyebabkan kerancuan nomenklatur aats posisi otoriter dalam hukum ketatanegaraan Indonesia. Implikasinya akan berdampak pada kebingungan sistem pengawasan kelembagaan di masa depan.
Catatan lain yang diberikan oleh fraksi Demokrat adalah skema pembiayaan pembangunan dan pembinaan IKN. Dalam revisi UU IKN, pembangunan dan pembinaan IKN terdiri dari 206 porsi APBN. Porsi tersebut lebih tinggi dari anggaran pemerintah untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Fraksi Demokrat menilai hal tersebut harus dikaji ulang.
Selain itu, fraksi Demokrat juga tak lelah mengatakan bahwa pengelolaan hutang dan jaminan keuangan aset harus menjadi perhatian utama pemerintah. “Jangan sampai di kemudian hari hutangnya akan menjadi salah satu komponen pembiayaan terbesar dalam pembangunan dan pendidikan menjadi beban berat bagi APBN,” ujarnya.
Poin yang tak luput dari catatan fraksi Demokrat adalah soal pembahasan revisi UU IKN yang dianggap terlalu cepat dan cenderung singkat. Fraksi Demokrat menilai bahwa seharusnya dilakukan pembahasan lebih lama dan mendalam agar materi serta isi revisi undang-undang lebih komprehensif.
Tujuannya adalah untuk menghindari lahirnya kecurigaan masyarakat dan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Fraksi Demokrat berpikir pemerintah masih memiliki waktu untuk membahas revisi UU IKN lebih lama mengingat pembangunan IKN dilaksanakan paling cepat atau minimal selama 10 tahun.
Senada tapi tak serupa dengan fraksi Demokrat, fraksi PKS menolak revisi UU IKN. Salah satu poin yang ditolak fraksi PKS adalah soal otorita IKN sebagaimana tertera di pasal 12 ayat 1. Fraksi PKS menganggap bahwa otorita IKN bertentangan dengan prinsip negara kesatuan, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 1 UUD 1945.
DEFARA DHANYA PARAMITHA | ADIL AL HASAN
Pilihan Editor: Inilah 8 Alasan Fraksi PKS Menolak Revisi UU IKN