Koalisi Masyarakat Sipil pun meminta Pimpinan BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolresta Barelang, Komandan Pangkalan TNI AL Batam bertanggungjawab atas peristiwa berdarah tersebut. Mereka menilai peristiwa ini bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan negara wajib melindungi seluruh tumpah darah dan segenap warga negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mereka pun meminta Presiden Joko Widodo alias Jokowi turun tangan dengan mencopot seluruh pimpinan lembaga yang terlibat dalam bentrokan itu.
”Tindakan aparat Kepolisian, BP Batam dan TNI yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat adat Pulau Rempang, adalah pengabaian terhadap amanah konstitusi dan pelanggaran HAM secara nyata. Oleh karena itu Presiden harus memerintahkan kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam karena telah melanggar konstitusi dan HAM,” sebut Azlaini Agus, salah satu Tokoh Riau yang ikut dalam koalisi tersebut.
Agus menilai warga Pulau Rempang berupaya untuk mempertahankan hak dasarnya untuk hidup, hak untuk mempertahankan kampung halaman nenek moyang mereka. Sementara aparat, menurut dia, hanya bertindak untuk membela investasi yang akan menggusur masyarakat adat.
Ribuan masyarakat adat di Batam sebelumnya sempat menggelar demonstrasi di depan Kantor BP Batam pada 23 Agustus lalu. Dalam demo itu mereka menyatakan menolak relokasi 16 kampung adat di Pulau Rempang. Mereka tidak menolak proyek pembangunan Rempang Eco-City. Pembangunan itu sendiri rencananya akan dilakukan oleh PT Megah Elok Graha, perusahaan di bawah naungan Artha Graha Grup milik Tomy Winata.