TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute mengatakan Rocky Gerung menjadi korban pelintiran kebencian atau hate spin dengan pelaporan yang dilakukan oleh relawan Presiden Joko Widodo ke kepolisian.
“Membaca dinamika respons publik atas RG, sangat kuat bahwa kasus ini sesungguhnya merupakan bentuk pelintiran kebencian atas RG,” kata Ismail Hasani, Peneliti Senior Setara Institute, dalam pernyataan tertulis, Senin, 7 Agustus 2023.
Mengutip Cherian George, hate spin atau pelintiran kebencian, kata Ismail, adalah gabungan dari konsep hate speech (ujaran kebencian) dengan kemarahan karena ketersinggungan (offence-taking). Ismail mengatakan hate spin ini banyak digunakan oleh para entrepreneur politik untuk memobilisasi pendukung dan menyerang kelompok sasaran tertentu.
“RG hari ini menjadi korban pelintiran ini, setelah pernyataannya direspons secara berjarak dengan jeda waktu dari peristiwa dan orkestrasi struktural,” kata Ismail.
Ia menilai substansi kritik Rocky Gerung sesungguhnya mewakili aspirasi publik yang selama ini tersumbat atau disumbat. Menurut Setara, kemarahan dan keonaran artifisial yang saat ini mengemuka nyatanya hanya ditunjukkan oleh kelompok relawan dan pegiat demonstrasi musiman.
“Sebagian besar masyarakat lebih berfokus pada substansi, sekalipun menyayangkan pilihan diksi RG,” ujarnya.
Menurut Ismail, alih-alih repot mencari delik pidana untuk menjerat Rocky Gerung, jika memang Polri tidak bisa mengabaikan pelaporan warga dan relawan Jokowi, Polri bisa mengambil langkah moderat dengan menerapkan restorative justice. Ini sekaligus memainkan peran dialog dengan pihak-pihak yang berkeberatan.
“Polri bisa menjadi jembatan demokratik untuk tetap menjaga ruang publik tetap sehat dan demokratis. Sekaligus memutus praktik berulang tuduhan pembungkaman dengan menggunakan instrumen hukum,” kata Ismail.
Pilihan Editor: PPP Sebut Koalisi Ganjar Pranowo Tetap Jalan Tanpa PSI