TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan mengajukan konsep sistem peradilan pidana terpadu penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan untuk merespons Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP yang saat ini tengah digodok Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
Ketua Subkom Reformasi Hukum dan Keamanan Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyatakan sistem peradilan pidana terpadu ini dirumuskan untuk menunjukkan proses keterkaitan antarpihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
"Konsep ini didasarkan atas sejarah Komnas Perempuan yang memang didirikan untuk merespons Tragedi Mei 1998 ketika terjadi kekerasan seksual. Di sana, kami menemukan korban-korban kekerasan seksual pada waktu itu mengalami berbagai hambatan ketika akan mengklaim keadilan," kata Siti dalam Diskusi Pemetaan Integrasi Hak Perempuan dengan Hukum dalam RUU Hukum Acara Pidana (HAP) yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan, Senin, 19 Juni 2023.
Menurut Siti, setiap elemen penegak hukum memiliki tanggung jawab masing-masing dalam proses peradilan pidana. Itu sebabnya, diperlukan cara kerja dan perspektif yang terpadu proses tersebut bisa memenuhi rasa keadilan dan pemulihan korban.
"Kita tahu penyidik, penuntut umum, dan hakim itu satu kesatuan yang terdiri dari subsistem keadilan hukum pidana. Apa yang dilakukan kepolisian itu akan jadi input bagi kejaksaan. Output kejaksaan akan menjadi input di pengadilan," ujarnya.
Siti mengatakan Komnas Perempuan menawarkan sistem peradilan pidana terpadu karena sistem peradilan pidana yang ada dinilai tidak memadai untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Karena itu diperlukan akses pelayanan yang lebih mudah dan terjangkau bagi perempuan dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan.
"Sistem peradilan pidana hanya terdiri dari empat subsistem (penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan putusan pengadilan, serta eksekusi putusan pengadilan). Peradilan pidana belum memberi perhatian khusus kepada hak korban," ujar Siti.
Bahkan, kata dia, sistem peradilan pidana sering kali dipandang berbasis hak tersangka atau terdakwa. Hal ini disebabkan masih terbatasnya ilmu pengetahuan tentang viktimologi dan hak asasi perempuan ketika KUHAP pertama kali diundangkan pada 1981.
"Sistem peradilan pidana itu tidak cukup hanya dengan empat subsistem, tetapi harus dikolaborasikan dengan sistem pelayanan dan pemulihan korban," ucapnya.
Pilihan Editor: Komnas Perempuan Telusuri Jejak Kekerasan Seksual Mei 1998 di Beberapa Kota