TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengklaim upaya Indonesia dalam penanganan aksi terorisme sudah terbukti telah membuahkan hasil. Keterangan ini disampaikan Moeldoko saat melakukan pertemuan dengan Menteri Kehakiman Kirgizstan, Aiaz Baetov dan pejabat lain dari negara tersebut, serta perwakilan UN Office on Drugs and Crime (UNODC).
Moeldoko mengutip kajian dari lembaga penelitian independen LAB45 di tahun 2021 menunjukan adanya penurunan tren serangan teror yang konsisten sejak tahun 2000 di Indonesia. Selain itu, nilai agregat Indonesia pada Global Terrorism Index juga telah menurun dari angka 6,55 pada 2002 ke 5,5 pada tahun 2021.
“Sebagai negara dengan keanekaragaman suku, budaya, dan agama, pemerintah Indonesia terus mendorong penguatan toleransi dan moderasi beragama dalam masyarakat sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo,” kata mantan Panglima TNI 2013-2015 ini dalam pertemuan di Gedung Bina Graha Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu, 7 Desember 2022.
Adapun pertemuan ini dilakukan untuk membahas penanganan tindak pidana kekerasan ekstrimis dan terorisme yang dilakukan pemerintah Indonesia.
“Kami sangat tertarik untuk mempelajari pelibatan instasi-instasi seperti organisasi masyarakat, akademisi, dan tokoh keagamaan dalam penanganan tindak pidana kekerasan ekstrimis dan terorisme di Indonesia," kata Aiaz.
Aiaz mengaku tertarik dengan pendekatan pemerintah Indonesia yang tidak hanya membahas tentang hukuman pidana bagi pelaku tindak kekerasan ekstrimis dan terorisme, tapi juga memiliki mekanisme pencegahan dan rehabilitasi. "Pengalaman Indonesia adalah pembelajaran yang unik bagi Kirgizstan. Oleh karenanya, kali ini Kirgizstan datang ke Indonesia dengan delegasi yang besar,” kata dia.
Di hari yang sama ada bom Astana Anyar
Di sisi lain, pertemuan ini terjadi di hari yang sama ketika terjadi aksi teror di Bandung, Jawa Barat. Bekas narapidana teroris, Agus Sujatno, meledakkan bom bunuh diri di kantor Polsek Astana Anyar, Bandung.
Tiga orang lainnya terluka berat. Serangan itu terjadi tujuh hari setelah seruan jihad atas nama juru bicara ISI tersebar di grup-grup percakapan. Laporan lengkap mengenai insiden ini tertuang dalam laporan Koran Tempo hari ini bertajuk Tujuh Hari Setelah Seruan ISIS.
Lebih lanjut, Moeldoko menjelaskan bahwa tindak pidana terorisme yang diposisikan sebagai kejahatan luar biasa merupakan ancaman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, kata dia, pemerintah Indonesia mengadopsi pendekatan whole of government untuk melawan terorisme, yakni melalui pendidikan di tingkat hulu, sampai penindakan di tingkat hilir.
Lewat UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme, kata dia, pemerintah berupaya memperkuat upaya pemberantasan tindak pidana terorisme. Termasuk, perluasan sanksi pidana untuk modus baru seperti misalnya foreign terrorist fighter (FTF), penguatan kelembagaan, dan perlindungan korban.
Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024. “Di samping berfokus pada penanganan, negara juga hadir untuk para korban dari tindak pidana terorisme," ujarnya.
Salah satunya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa korban tindak pidana terorisme masa lalu berhak memperoleh kompensasi. "Kehadiran negara diharapkan dapat membawa semangat baru serta optimisme bagi para korban dan keluarganya untuk melanjutkan hidup di masa yang akan datang,” kata Moeldoko.
Baca: BNPT Ungkap Alasan Pelaku Lakukan Aksi Bom Bunuh Diri di Polsek Astanaanyar