INFO NASIONAL - Ketua MPR Bambang Soesatyo menuturkan para pendiri bangsa menempatkan bela negara pada posisi sentral dengan merumuskannya secara eksplisit dalam konstitusi. Artinya, tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Konsepsi bela negara sendiri memiliki spektrum pemaknaan yang luas. Sebagai tekad, sikap, tindakan setiap warga negara yang dilandasi oleh rasa cinta tanah air, didasari oleh kesadaran dan komitmen untuk berbakti pada negara dan kesediaan berkorban demi kepentingan negara, serta menjaga dan mempertahankan kedaulatan NKRI dari berbagai ancaman.
"Rumusan di atas setidaknya mengisyaratkan dua pesan penting. Pertama, bahwa upaya bela negara adalah tanggung jawab bersama segenap warga negara, tanpa kecuali. Kedua, bahwa bela negara memiliki dua dimensi implementasi, yakni sebagai hak warga negara untuk berpartisipasi, dan sebagai kewajiban manakala kondisi mengharuskan partisipasi warga negara," ujar Bamsoet dalam acara Sidang Terbuka Senat Universitas Kristen Indonesia, di Jakarta, Senin, 5 September 2022.
Hadir antara lain Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jesua Un, Rektor UKI Dhaniswara K. Harjono, Ketua Senat UKI Admonobudi Soebagio, Pendeta Kampus, Pdt. Merciana Saragih, serta para mahasiswa baru UKI tahun akademik 2022 – 2023.
Bamsoet menjelaskan, konsepsi bela negara tidak boleh dimaknai secara sempit, hanya sebatas upaya menjaga dan melindungi negara dari ancaman militer. Bela negara bukan sekadar memanggul senjata atau kesanggupan menjadi sumber daya komponen cadangan negara, sebagai penopang kekuatan militer.
Namun, ancaman non-militer yang bersifat kasat mata, kompleks, dan berdimensi ideologis, justru menghadirkan tantangan yang tidak mudah ditanggulangi. Ancaman berdimensi ideologis tersebut mewujud dalam beragam fenomena, antara lain berkembangnya sikap intoleransi dalam kehidupan masyarakat, tumbuhnya radikalisme dan terorisme, munculnya sikap disintegrasi hingga separatisme, serta beragam bentuk ancaman lainnya yang menggerus sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa.
Survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta pada akhir tahun 2020 mencatat sekitar 30,16 persen mahasiswa Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah atau sangat rendah. Hasil survei SMRC pada bulan Juni 2022 juga mengindiksikan bahwa tingkat toleransi publik di Indonesia masih rendah, dengan indeks sebesar 49,1 (dalam skala 0-100).
"Selanjutnya, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, hingga tahun 2021 masih ada sekitar 33 juta penduduk Indonesia yang terpapar paham radikalisme. Sedangkan isu separatisme dan aksi kekerasan, khususnya di wilayah Papua, masih menyeruak sepanjang tahun 2022 dan menyebabkan jatuhnya korban masyarakat sipil," tutur Bamsoet.
Kondisi ini ditambah dengan merasuknya nilai-nilai asing melalui globalisasi yang mulai menggeser nilai-nilai kearifan lokal dan menggerus nilai-nilai ke-Indonesiaan. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang kaya dengan sumber daya, menjadi pusat daya tarik bagi kepentingan global.
Di sisi lain, penduduk Indonesia yang tersebar dalam gugusan negara kepulauan, dengan tingkat kemajemukan yang sangat heterogen, menjadikan posisi bangsa Indonesia rentan terhadap infiltrasi asing dan ancaman perpecahan.
Karena itu, Bamsoet menjelaskan, penting untuk memaknai konsep bela negara secara komprehensif dan mempertahankan kedaulatan negara dalam segala aspek dan dimensinya. Baik melalui kedaulatan politik, kedaulatan ideologi, kedaulatan pertahanan keamanan, kedaulatan wilayah teritorial, kedaulatan ekonomi, maupun kedaulatan sosial-budaya.
“Di sinilah urgensi menghadirkan konsep bela negara dalam dimensi ideologis. Diperlukan pembaruan paradigma dan pengembangan strategi bela negara yang sesuai dengan kebutuhan zaman," kata dia. (*)