TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M Syarif mengingatkan bahwa pemerintah dan DPR tidak bisa membatasi pembahasan ulang draf final RKUHP pada 14 isu pokok saja. Sebab, ia menilai masih ada sejumlah pasal-pasal bermasalah yang mesti ditinjau ulang.
"Pemerintah dan DPR seakan menutup mata untuk pasal-pasal bermasalah lainnya. Pembahasan RKUHP jangan tidak dibatasi pada 14 isu yang sudah diidentifikasi pemerintah dan DPR, namun juga pasal-pasal lain yang masih mendapat catatan dan kritik dan masyarakat dan ahli," ujarnya lewat keterangan tertulis, Senin, 25 Juli 2022.
Laode mencontohkan, pasal bermasalah di luar 14 isu krusial adalah pemidanaan bagi mereka yang dianggap menghina kekuasaan umum atau lembaga negara (Pasal 351).
"Kemitraan menganggap pasal ini justru mengancam masa depan demokrasi Indonesia, karena mirip dengan pasal-pasal Haatzaai Artikelen yang berhubungan dengan tindakan menyebarkan kebencian warisan Kolonial Hindia Belanda, dan biasa digunakan sebagai pasal
karet. Sebelumnya, aturan ini telah sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," ujar dia.
Dalam hal yang menyangkut delik penghinaan, lanjut dia, pemerintah juga tidak memberikan ketegasan penafsiran mengenai definisi penghinaan tersebut. Hal ini dinilai sangat berbahaya. Sebab, hanya pejabat pemerintah yang berhak menafsirkannya, sehingga berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik kepada pemerintah dan lembaga negara.
"Kita masih ingat bagaimana Adrianus Meliala, Hariz Azhar atau Robertus Robert diproses kepolisian, bahkan sebagian dijadikan tersangka, karena mengungkapkan dugaan korupsi oleh oknum Polri. Bahkan dalam kasus Robertus, hanya karena menyanyikan lagu yang dianggap menghina TNI,” ujar dia.
Direktur Program Justice, Anti-Corruption, & Human Right (JAHR) di Kemitraan, Rifqi Sjarief Assegaf menambahkan, tidak perlu ada kategori khusus tentang “penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara” karena yang merasa dihina pribadinya dapat menggunakan pasal penghinaan dalam Pasal 437 RKUHP.
Pasal itu secara tegas mengatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.
“Perlindungan atas jabatan tidak dapat dipersonifikasikan sebagai perlindungan atas pribadi, karena jabatan adalah pemberian dari masyarakat dan bersifat publik," tuturnya.
Kemitraan juga menyorot pasal yang menyangkut demonstrasi. RKUHP menjadikan perbuatan melakukan demontrasi tanpa izin menjadi delik pidana (Pasal 256). Padahal dalam aturan yang berlaku saat ini, perbuatan demikian hanya dapat memberikan kewenangan bagi Polri untuk membubarkan kegiatan tersebut (Pasal 15 UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat Di Muka Umum).
Konsep RKUHP untuk menggabungkan sebagian delik pidana khusus ke dalam RKUHP juga dinilai bermasalah. Ancaman hukuman minimum delik korupsi tertentu, misalnya, diringankan
dari 4 tahun menjadi 2 tahun (Pasal 607).
Berdasarkan uraian di atas, Kemitraan merekomendasikan beberapa hal kepada Pemerintah dan DPR. Pertama, menyediakan waktu dan sarana yang memadai untuk melakukan konsultasi publik terkait substansi RKUHP
Kedua, menuntut pembahasan RKUHP agar tidak dibatasi pada 14 isu yang sudah diidentifikasi pemerintah dan DPR, namun juga pasal-pasal lain yang masih mendapat catatan dan kritik dan masyarakat dan ahli, termasuk pasal-pasal yang berpotensi membatasi secara eksesif hak menyatakan pendapat dan berdemonstrasi.
Ketiga, Kemitraan mengingatkan pemerintah dan RPR memanfaatkan proses penyusunan RKUHP ini sebagai momentum untuk menunjukkan kesungguhannya dalam memajukan demokrasi dan negara hukum.
Pihak pemerintah sebelumnya membuka peluang membahas ulang RKUHP terbatas menyangkut 14 isu krusial. “Selama dalam konteks 14 pasal isu krusial ya (terbuka peluang dibahas kembali). Selain itu tidak,” kata Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej di Kompleks Parlemen, Senayan pada Rabu, 6 Juli 2022.
Sebanyak 14 isu tersebut adalah; living law, pidana mati, penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih, tindak pidana contempt of court, penodaan agama, penganiayaan hewan, isu terkait alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan, penggelandangan, aborsi, perzinaan, kohabitasi, dan perkosaan.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.