TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan pengurus partai seharusnya bisa dijerat hukum sebagai penerima suap dan gratifikasi. Dia menilai peran pengurus partai sangat strategis dalam perpolitikan Indonesia.
“Pertanyaannya kalau begitu pengurus partai terima duit enak-enak saja, seolah itu bebas dari hukum,” kata Alex di kantornya, Jakarta, Kamis, 21 Juli 2022.
Baca Juga:
Alex mengatakan KPK belum bisa menjerat pengurus partai yang menerima uang karena problem di aturan. Menurut dia, dalam Undang-Undang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, pengurus partai yang menerima uang suap tidak tergolong penyelenggara negara.
Padahal, kata dia, peran pengurus partai sangat strategis. Sebab, partai adalah pihak yang menentukan calon wakil rakyat, kepala daerah, bahkan hingga presiden. “Mereka menentukan pejabat publik,” ujar dia.
Alex menuturkan uang mahar dalam pencalonan bukan rahasia umum lagi. Pengurus partai yang menerima uang mahar itu selama ini masih tidak tersentuh hukum. Dia mengatakan, maka itu perlu perluasan makna dari penyelenggara negara.
Menurut dia, perlu kajian lebih lanjut oleh ahli hukum dan ahli hukum tata negara untuk mengkaji perluasan definisi penyelenggara negara agar bisa dijerat bila menerima suap. “Mestinya ada perluasan pengertian penyelenggara negara,” ujar dia.
Alex mengatakan itu untuk menanggapi perkataan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Andi Arief. Andi hadir menjadi saksi dalam sidang kasus suap Bupati Penajam Paser Utara nonaktif, Abdul Gafur Mas’ud. Dalam sidang itu, Andi mengakui menerima Rp 50 juta dari Gafur, namun dia merasa penerimaan itu bukanlah tindak pidana.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.