TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menetapkan eks Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar menjadi tersangka. Kejaksaan Agung menyatakan kasus yang mereka tangani ini berbeda dengan yang pernah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Sama sekali tidak ada nebis in idem,” kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin di kantornya, Jakarta, Senin, 27 Juni 2022. Nebis in idem adalah istilah hukum yang merujuk pada obyek hukum yang sama.
Selain Emirsyah, Kejaksaan juga menetapkan Direktur PT Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedarjo. Baik Emirsyah dan Soetikno saat ini berstatus terpidana dalam kasus korupsi di KPK.
Emirsyah divonis bersalah karena menerima suap dan melakukan pencucian uang dalam pemeliharaan, serta pembelian pesawat. Suap itu diterima melalui Soetikno. Emirsyah divonis 8 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Sin$ 2,1 juta. Sedangkan Soetikno divonis 6 tahun penjara.
Burhanuddin mengatakan kasus korupsi Garuda Indonesia yang disidik oleh kejaksaan tidak sama dengan yang ditangani KPK. Menurut Burhanuddin, kasus yang disidik oleh kejaksaan merupakan kerugian negara. Burhanuddin mengatakan dalam kasus ini pihaknya menduga negara mengalami kerugian sebanyak Rp 8,8 triliun.
Selain kedua orang tersebut, kejaksaan sudah menetapkan 3 mantan petinggi Garuda menjadi tersangka. Di antaranya, VP Strategic Management Office Garuda Indonesia 2011-2012, Setijo Awibowo; Executive Project Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009-2014, Agus Wahjudo; dan VP Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode 2005-2012 Albert Burhan. Kasus ketiganya sudah dilimpahkan ke jaksa penuntut umum.
Kasus ini bermula dari temuan adanya penyimpangan dalam proses pengadaan berbagai jenis tipe pesawat. Dua di antaranya Bombardier CRJ-100 dan ATR 72-600, yang dilaksanakan dalam periode Tahun 2011-2013.
Penyimpangan yang terjadi dalam proses kajian Feasibility Study/ Business Plan rencana pengadaan pesawat Sub-100 Seaters (CRJ-1000) maupun pengadaan pesawat turbopropeller (ATR 72-600). Yang di dalamnya memuat analisis pasar, rencana jaringan penerbangan, analisis kebutuhan pesawat, proyeksi keuangan dan analisis resiko.
Penyimpangan juga terjadi dalam proses pelelangan dalam pengadaan pesawat Sub-100 Seaters (CRJ-1000) maupun pengadaan pesawat turbopropeller (ATR 72-600). Karena mengarah untuk memenangkan pihak penyedia barang / jasa tertentu, yaitu Bombardier dan ATR.
Selain itu, adanya indikasi suap-menyuap dalam proses pengadaan pengadaan pesawat Sub-100 Seaters (CRJ-1000) maupun pengadaan pesawat turbopropeller (ATR 72-600) dari manufacture. Akibat dari pengadaan yang menyimpang itu mengakibatkan PT Garuda Indonesia mengalami kerugian.
Baca juga: Jaksa Agung Sebut Korupsi Garuda Rugikan Negara Rp 8 Triliun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini