TEMPO.CO, Jakarta - Ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia Ahmad Syafii Maarif atau akrab dipanggil Buya Syafii wafat pada hari ini, Jumat, 27 Mei 2022, di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta. Kepergian mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini membuat orang-orang mengenang pemikirannya tentang agama dan negara.
Dikutip dari artikel berjudul Pemikiran Politik Negara dan Agama Ahmad Syafii Maarif yang terbit di Jurnal Politik Muda pada 2012, Buya Syafii memandang pola hubungan negara dan agama bukan hanya pola hubungan dikotomis yang saling meniadakan.
Islam bukan semata-mata ritual peribadatan hamba kepada Tuhannya, melainkan Islam juga mengatur kaidah-kaidah dan batas-batas dalam muamalah dan bersosial dalam masyarakat. Karena itu, harus ada negara atau kekuasaan politik yang melindungi dan menjaga aturan-aturan itu.
Wawasan kekuasaan dalam Islam haruslah disinari dengan wawasan moral. Sejarah telah menunjukkan, kekuasaan Islam dalam berbagai zaman di berbagai negara seringkali mengkhianati cita-cita politik Islam itu sendiri.
Menurut pemahaman Buya Syafii, Islam bukan hanya cita-cita moral dan nasehat-nasehat agama yang bisa lepas begitu saja. Tetapi, Islam memerlukan sarana untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia.
Al-Qur’an telah menjelaskan seluruh dimensi kehidupan manusia. Karena itu, jika ada pemikir Muslim berpendapat sekuler atau Islam dan negara harus dipisahkan, menurut Buya Syafii, pendapat itu tidak memiliki landasan teoritis yang kuat.
Dalam pandangan Buya Syafii, tidak ada pemisahan antara negara dan agama berdasarkan Al-Qur’an. Q.S Al-An’am ayat 162 menegaskan “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup matiku, adalah untuk Allah, pemelihara alam semesta.”
Ayat ini menjelaskan, salat di masjid, jualan di pasar, atau pidato dalam parlemen tidak bisa ditempatkan dalam kategori dikotomis antara ibadah dan kerja sekuler. Salat di masjid adalah ibadah, sedangkan pidato dalam parlemen merupakan kerja sekuler yang harus berada di bawah wawasan moral dan etika Al-Qur’an.
Al-Qur’an juga banyak membicarakan tentang negara. Tetapi, Buya Syafii menolak pendapat Islam adalah negara (daulah) dan agama (din). Menurut dia, negara adalah sesuatu yang mutable (berubah) sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sedangkan agama merupakan sesuatu yang immutable (tetap) tidak lekang oleh ruang dan waktu.
Karena itu, Buya Syafii menolak gagasan tentang negara Islam. Menurut dia, gagasan negara Islam tidak memiliki basis religio-intelektual yang kukuh. Hasil karya Nabi Muhammad SAW, Piagam Madinah, tidak menyingung masalah negara Islam sama sekali. Tidak heran Buya Syafii menganggap fenomena Negara Islam merupakan fenomena abad 20.
Posisi nabi Muhammad dalam Al-Qur’an adalah seorang rasul, meskipun tidak bisa dipungkiri ia pernah menjabat sebagai pemimpin negara sekaligus pemimpin agama. Kedudukan ini termaktub dalam Q.S Ali-Imron ayat 144 “Muhammad hanyalah seorang Rasul”.
Ayat inilah yang digunakan Buya Syafii untuk menolak statement Islam adalah agama dan negara. Menurut dia, statement ini akan mengaburkan hakikat yang sebenarnya dari posisi kenabian Muhammad SAW.
Selain itu, Nabi Muhammad SAW tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa dan tidak pernah mendeklarasikan sistem dan bentuk pemerintahan baku dalam Islam. Ini menunjukkan Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin yang visioner dan paham masyarakat muslim adalah masyarakat yang dinamis dan pluralis.
Karena itu, sekalipun Buya Syafii menyerukan pentingnya negara dalam Islam, tetapi dia menolak pandangan yang mengatakan Islam adalah daulah dan din.
AMELIA RAHIMA SARI