TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengungkapkan empat pintu yang bisa ditelusuri aparat penegak hukum, khusunya Kejaksaan Agung, untuk mengungkap kasus korupsi para mafia minyak goreng.
Dia menekankan, ini karena dugaan kasus korupsi para mafia tersebut tidak mungkin dilakukan oleh segelintir orang saja, termasuk di lingkungan pejabat negara. Karena itu, dia mengatakan, Kejaksaan Agung perlu terus didorong menuntaskan kasus ini.
"Tapi saya tetap juga menghormati penyidikan dalam bentuk ya tidak akan menyebut nama-nama orang, meskipun saya tahu ataupun tidak tahu. Beda dulu dengan kasus Djoko Tjandra," kata dia melalui pesan suara, Jumat, 29 April 2022.
Adapun pintu-pintu kasus korupsi yang bisa ditelusuri aparat penegak hukum, kata dia, pertama kasus kamuflase ekspor minyak mentah kelapa sawit (CPO) sebagai limbah di Lampung. Tujuannya untuk menghindari pembayaran bea keluar.
Kedua, Boyamin melanjutkan, adanya dugaan kasus korupsi ekspor CPO sebagai salah satu bahan baku minyak goreng dengan dikamuflasekan bersama sayur-sayuran. Tujuannya sama, untuk meghindari pungutan ekspor sehingga turut merugikan keuangan negara.
Kemudian, pintu penelusuran ketiga, menurut dia, adalah dari sisi tidak terpungutnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ekspor CPO. PPN ini tidak terpungut dari para mafia minyak goreng yang terus bisa mengekspor CPO tanpa memenuhi ketentuan pemenuhan dalam negeri terlebih dahulu.
Selain itu, Boyamin menyatakan, pintu keempat adalah dari sisi korupsi dana pungutan kelapa sawit yang disubsidi pemerintah ke swasta melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Persoalan ini kata dia telah disuarakan Politikus PDIP Masinton Pasaribu.
"Ini sumbernya Masinton dan saya sudah diberi datanya dan kita juga sudah serahkan datanya ke Kejaksaan Agung untuk dibuka. Dana pungutan sawit itu kan sebagiannya disubsidi ke perusahaan swasta," ucap Boyamin.
Terakhir, Boyamin berujar, dugaan korupsi pada kasus mafia minyak goreng ini juga bisa ditelusuri dari adanya dugaan beberapa pengusaha yang telah mendapatkan izin penggunaan hutan dan alih fungsi hutan untuk ditanami kelapa sawit. Mereka, menurut Boyamin, menggunakan sertifikan izin HGU itu untuk dipinjamkan ke bank.
Namun, yang menjadi persoalan, kata dia, uang pinjaman atau pembiayaan dari bank tersebut malah dilarikan ke luar negeri dan terjadi kredit macet. Luas lahan yang telah mendapat izin untuk ditanami kelapa sawit itu pun, menurut dia, kini terlantar di Sumatera Selatan.
"Diduga dilarikan ke luar negeri dan macet sehingga merugikan bank BUMN. Itu sudah bisa dikategorikan korupsi. Kalau bank swasta juga bisa merugikan karena izin negara dari HGU tadi sulit dicabut," ucap Boyamin.