TEMPO.CO, Jakarta - Kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) melalui peredaran obat ilegal di wilayah Jakarta dan beberapa wilayah lainnya segera memasuki tahap kedua. Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri masih melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus yang meraup keuntungan hingga Rp 531 miliar itu.
"Sampai dengan saat ini penyidik masih melakukan koordinasi dengan jaksa di Kejagung terkait waktu dan tempat pelaksanaan tahap dua, itu penyerahan tersangka dan barang bukti," Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Gatot Repli Handoko di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 12 April 2022.
Dalam kasus tersebut, penyidik telah menangkap tersangka DP yang sudah memperdagangkan obat secara ilegal sejak 2011. Bareskrim Polri bersama PPATK mengungkap kasus dugaan TPPU dari peredaran obat ilegal yang diduga dilakukan tersangka DP.
DP mengaku sebagai pemilik apotek bernama Flora Pharmacy. Nyatanya, ia tak memiliki keahlian dan kewenangan untuk mengedarkan obat. DP melayani pemesanan atau menawarkan obat dari luar negeri kepada pembeli, baik perorangan, apotek maupun toko obat, melalui aplikasi WhatsApp. Setelah disepakati jumlah dan harga, DP memesan obat dari penyedia di luar negeri.
Dari penangkapan DP, penyidik menyita 200 tablet Favipiravir atau Favimex, 11 pak Crestor, empat pak Voltaren Gel. Lalu sembilan buku rekening tabungan beserta ATM beserta dokumen deposito, uang dalam tabungan dan deposito dengan nilai Rp 530 miliar.
"Sedangkan untuk berkas tersangka lain masih dalam tahap penyusunan dan apabila sudah selesai akan dilimpahkan ke jaksa penuntut umum," tutur Gatot.
Atas perbuatannya, DP dijerat Pasal 196 Juncto Pasal 98 ayat 2 dan ayat 3 dan/atau Pasal 197 Junto Pasal 106 ayat 1 Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Juncto Pasal 64 KUHP. Lalu, Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan/atau Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang.
Baca: Bareskrim Bongkar Pabrik Obat Ilegal di Cibinong, Sita Jutaan Pil Siap Edar