TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi kembali menyinggung persoalan politik yang terjadi Myanmar. Jokowi berbicara soal bantuan kepada rakyat Myanmar dan hak warga setempat atas demokrasi.
"Kita tidak boleh lelah untuk terus membantu rakyat Myanmar. Bersama-sama kita pasti bisa membantu mereka. Mereka berhak untuk menikmati perdamaian, kesejahteraan, dan demokrasi. Kita harus membantu memberikan solusi yang adil untuk rakyat Myanmar. Tidak bisa ditunda-tunda lagi," kata Jokowi lewat akun twitternya @jokowi pada Selasa, 23 Februari 2022.
Saat dikonfirmasi, pihak Kementerian Luar Negeri menyebut belum ada tindakan baru yang bakal diambil pasca-pernyataan Jokowi ini. Indonesia masih fokus pada 5 poin konsensus yang sudah disepakati para pemimpin negara-negara ASEAN.
"Sejauh ini inisiatif baru belum ada lagi yang spesifik," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah saat dihubungi, Rabu, 24 Februari 2022.
Kudeta militer Myanmar yang dikecam pemerintah Indonesia terjadi pada Februari 2021. Sejak saat itu, berbagai aksi kekerasan, pembunuhan, dan penangkapan terjadi di Myanmar.
Sejauh ini, pemerintah Indonesia juga masih mengharapkan adanya perkembangan yang baik setelah penunjukkan Menteri Luar Negeri Kamboja, Prak Sokhonn, sebagai utusan khusus (special envoy) Ketua ASEAN terkait Myanmar.
Meski demikian, Faizasyah menyebut Presiden sangat menaruh perhatian atas masalah yang terjadi di Myanmar. "Bahkan Presiden juga mendorong pertemuan darurat kepala pemerintahan ASEAN di Jakarta (tahun 2021)," kata dia.
Di tengah persoalan yang berlangsung di Myanmar, muncul laporan dari pakar hak asasi manusia PBB di Myanmar, Thomas Andrews. Ia menuduh Rusia dan Cina memasok jet temput yang digunakan junta untuk melawan warga sipil.
Ia mendesak Dewan Keamanan PBB menghentikan aliran senjata yang menyebabkan kekejaman di negara tersebut. Belum ada komentar lebih lanjut dari Kementerian Luar Negeri terkait laporan ini. "Saya akan cek dulu," kata Faizasyah.
Hari ini, sejumlah akademisi pun juga menyoroti tidak adanya perkembangan yang signifikan dari 5 poin konsensus yang disepekati pemimpin-pemimpin ASEAN ini. Direktur Kerja Sama Politik dan Keamanan ASEAN Rolliansyah Soemirat menyampaikan hal yang senada.
"Kami tahu implementasinya sangat lambat, atau bahkan tidak ada progres sama sekali. Itu sesuatu yang mengganggu kami, dan saya bisa bilang banyak negara di kawasan juga merasakan hal yang sama," kata dia dalam diskusi CSIS, Rabu, 24 Februari.
Salah satu persoalan terjadi karena junta militer Myanmar juga mengusung 5 poin roadmap dan ingin menyetarakannya dengan 5 poin konsensus yang disepakati pemimpin ASEAN. "Ini seharusnya dipisahkan, untuk menghindari kebingungan, tujuan kami tetap meminta semua pihak menjalankan 5 poin konsensus," kata dia.
Penegasan ini juga disampaikan Jokowi akhir Januari lalu. “Pelaksanaan 5 poin konsensus seharusnya tidak digunakan untuk mendukung 5 poin roadmap-nya Tatmadaw (militer Myanmar). Jangan sampai dikaitkan karena dapat dinilai sebagai bentuk dukungan ASEAN ke Militer Myanmar,” ujar Jokowi.