TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Susi Harijanti, menilai pembentukan undang-undang di Indonesia selama masa pandemi Covid-19 kurang melibatkan partisipasi publik. Menurut dia, hal itu menunjukkan lemahnya fungsi legislasi DPR dan kemunduran demokrasi.
“Saya melihat bahwa pembentukan undang-undang di masa pandemi ini minim partisipasi masyarakat dan cenderung membenarkan inisiatif eksekutif,” kata Susi, Senin, 22 November 2021.
Penilaian itu ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam webinar nasional program studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia bertajuk Demokrasi di Era Pandemi.
Ia menjelaskan selama pandemi Covid-19 lembaga eksekutif di Indonesia memang berperan lebih dominan. Peran yang dominan itu dapat dilihat dari penggunaan pasal 22 UUD 1945 yang lebih banyak daripada pasal 12 UUD 1945.
Di dalam pasal 22 ayat (1) dan (2) UUD 1945, dimuat bahwa presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dan peraturan tersebut harus mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan. Lalu dalam pasal 22 ayat (3) UUD 1945 tertulis jika tidak mendapatkan persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Sementara terkait dengan pasal 12 UUD 1945 tertulis presiden menyatakan keadaan bahaya dengan syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan undang-undang. “Jadi, eksekutif akan tetap berperan dominan daripada cabang-cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif melalui norma-norma konstitusi yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan dan mengeluarkan kebijakan tertentu,” ujar Susi.
Kemudian dia menyoroti pelaksanaan fungsi-fungsi DPD yang dinilai kurang terlihat signifikan selama masa pandemi Covid-19. “Mungkin, saya yang tidak secara teliti membaca, namun jarang sekali kita lihat di media massa bagaimana DPD itu mengeluarkan atau membuat satu pernyataan. Satu kebijakan yang berkaitan dengan masa krisis ini,” tuturnya.
Pelaksanaan fungsi yang kurang signifikan itu, tambah Susi, dapat dilihat dari respons DPD ihwal penyelenggaraan pemerintah daerah selama era pandemi, khususnya di periode awal Maret, April, dan Mei 2020.
Saat itu, pemerintah daerah telah meminta fleksibilitas wewenang dari pemerintah pusat untuk mengelola penanganan Covid-19. Namun, menurut dia, DPD tidak mengeluarkan pernyataan untuk mendukung permintaan itu.
Oleh karena itu, Susi menilai pandemi Covid-19 masih menjadi ujian bagi demokrasi dan fungsi lembaga-lembaga negara di Indonesia. Ia berharap masing-masing lembaga negara di Indonesia dapat memiliki daya adaptasi yang baik selama pandemi.
“Masing-masing lembaga negara itu sepatutnya melakukan atau memiliki daya adaptasi yang baik dalam rangka merespons kebutuhan dan keinginan masyarakat selama era pandemi ini,” kata dia. Selain itu, ujar Susi, penting pula bagi lembaga negara untuk membuat kebijakan yang koheren selama pandemi Covid-19.
Baca juga: Menkes Sebut Covid-19 AY.23 di Singapura dari Indonesia, Pakar: Belum Tentu