TEMPO.CO, Jakarta - Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyatakan dukungannya terhadap Permendikbud soal penanganan kekerasan seksual di kampus. Meski begitu, KUPI menilai terdapat poin-poin yang harus direvisi dalam peraturan karena dianggap multitafsir.
“Kami mendukung, karena kekerasan seksual seperti gunung es, di mana pelakunya pihak yang semestinya melindungi, tapi justru pelindung menjadi pelaku, sehingga korban tidak berdaya,” ujar Ketua Umum KUPI Badriyah Fayumi melalui keterangan tertulisnya, Jumat, 19 November 2021.
Menurutnya, peraturan ini merupakan bentuk kehadiran negara dalam melakukan pencegahan kekerasan seksual secara komprehensif.
Akan tetapi, Badriyah menilai beleid ini memiliki poin-poin yang bermasalah dan multitafsir. Hal ini terutama terdapat pada frasa “tanpa persetujuan korban” pada peraturan tersebut.
Menurut Badriyah, sebelum pro dan kontra Permendikbud ini ramai diperbincangkan, Kementerian Agama dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga telah memiliki surat edaran yang mengatur pedoman pencegahan kekerasan seksual. Namun keduanya dinilai tidak memiliki poin-poin yang bermasalah atau multitafsir.
Karena itu dia berharap frasa “tanpa persetujuan korban” tersebut direvisi dengan istilah lain.
“Meski kami paham dengan pendekatan hukum pidana yang berlaku itu bisa dipahami, tapi produk perundang-undangan ini dibaca oleh seluruh masyarakat. Coba cari frasa yang lain tanpa mengurangi semangat mengurangi pencegahan kekerasan seksual secara komprehensif,” ujar Badriyah.
AQSHAL RAIHAN BUDIPUTRA | MAGANG