TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menemukan sejumlah penyebab turunnya kepuasan publik terhadap pengadilan tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor).
Peneliti LeIP, Muhammad Tanziel Aziezi, memaparkan penyebab pertama, belum optimalnya fungsi hakim ad hoc yang seharusnya dapat memberikan nilai tambah terhadap kualitas persidangan. Hakim Ad Hoc terpilih pada umumnya sarjana hukum yang belum tentu memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam penyelesaian perkara korupsi yang kompleks.
Penyebab kedua adalah hanya 13 persen atau 126 hakim bersertifikasi pidana korupsi di tingkat pertama yang bersidang di pengadilan. "Sedangkan 87 persen atau 833 di antaranya justru tidak ditempatkan di pengadilan tipikor," ujar Tanziel melalui keterangan tertulis pada Jumat, 22 Oktober 2021.
Alhasil, Tanziel melihat hal tersebut merupakan inefisiensi dalam program sertifikasi hakim. Sementara di sisi lain pada pengadilan-pengadilan di kota besar, terdapat keluhan akan ketersediaan jumlah hakim Tipikor di tengah-tengah jumlah perkara korupsi yang tinggi.
LeIP juga menemukan bahwa pengadilan korupsi justru menyebabkan inefisiensi penanganan perkara concursus (perkara gabungan) yang mungkin muncul dalam perkara korupsi, misalnya pada perkara tindak pidana pajak yang menyertai terjadinya suatu korupsi.
Untuk itu LeIP pun menyarankan beberapa rekomendasi yang didasarkan pada peninjauan ulang terhadap kondisi dan desain pengadilan tindak pidana korupsi saat ini. Pertama, dengan meninjau ulang kelembagaan dan kewenangan pengadilan. Tim Peneliti merekomendasikan agar pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di tingkat kabupaten atau kota tidak perlu dilakukan.
"Namun, diadakannya mekanisme yang memungkinkan persidangan perkara Tipikor di PN terdekat, serta memperluas kewenangan Pengadilan Tipikor agar dapat menangani jenis perkara lain yang berhubungan dengan Tipikor," ucap Tanziel.
Selanjutnya, LeIP menyarankan untuk meninjau ulang sistem sertifikasi dan distribusi hakim karier, dengan dilakukannya analisis kebutuhan hakim karier berbasis data yang nantinya harus terus diperbarui secara rutin.
Di samping itu perlu pula dilakukan perubahan terhadap mekanisme pemberian SK penempatan hakim karier, mengatur ulang pelaksanaan tugas hakim karier, mempertimbangkan pemberian insentif tambahan, serta menyusun program diklat berkelanjutan bagi hakim karier.
Kemudian, merekomendasikan peninjauan ulang terhadap konsep dan praktik hakim ad hoc juga harus dilakukan. "Berdasarkan kajian dan tinjauan yang dilakukan, Tim Peneliti merekomendasikan perlunya mendesain ulang pola kerja, rekrutmen, hingga diklat terhadap hakim ad hoc. Hal ini perlu dilakukan dengan memperhatikan pemetaan beban kerja dan tipologi perkara," kata Tanziel.
Terakhir, LeIP meminta adanya penguatan terhadap kepaniteraan pengadilan Tipikor guna menjamin dukungan administrasi yang mumpuni. Penguatan ini dapat dilakukan dengan menunjuk panitera pengganti khusus pengadilan Tipikor serta dengan melaksanakan pendidikan dan orientasi.
ANDITA RAHMA
Baca: Azis Syamsuddin Akan Dihadirkan Jadi Saksi di Sidang Robin Pattuju Pekan Depan