Masalah ketiga, adalah permasalahan di internal KPK akan memicu kembali menurunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Mengacu pada temuan Transparency International, Atip mengatakan IPK Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan pada tahun 2020 lalu, baik dari segi peringkat maupun poin.
"Sehingga, kekisruhan ini harus segera diakhiri agar
pelaksanaan pemberantasan korupsi dapat berjalan sebagaimana mestinya," kata Atip.
Atip mengingatkan pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, juga dikatakan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). Sehingga dalam lingkup kepegawaian, seluruh pemangku kepentingan harus mengacu pada kebijakan yang diambil oleh Presiden.
Namun ia melihat yang terjadi terlihat justru sebaliknya. Pernyataan Jokowi yang meminta TWK tak dijadikan dasar pemecatan pegawai KPK, justru seperti diabaikan begitu saja, baik oleh Pimpinan KPK maupun Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Atas dasar itu pula, Koalisi Guru Besar Antikorupsi meminta Jokowi untuk menarik pendelegasian kewenangan pengangkatan ASN dari KPK.
"Karena terdapat sejumlah persoalan hukum yang belum terselesaikan (Pasal 3 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil)," kata Atip.
77 guru besar antikorupsi yang menanggapi soal pelantikan pegawai KPK ini terdiri dari sejumlah universitas dalam negeri. Selain Emil Salim, Azyumardi Azra, dan Atip Latipulhayat, ada pula nama-nama seperti Frans Magnis Suseno, Sigit Riyanto, hingga Jan S Aritonang.