TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono mengatakan paparan radikalisme banyak terjadi lewat dunia maya. Karena itu, ia meyakini keberadaan polisi virtual yang dicanangkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dapat meminimalisasi konten radikal di internet.
Ia mengatakan saat ini, banyaknya informasi yang beredar di dunia maya, kerap membuat masyarakat kesulitan menyaring mana yang benar dan salah. Karena itu, Rusdi mengatakan polisi virtual hadir untuk memberikan informasi yang resmi yang terpercaya.
"Polisi ingin mencoba mengedukasi masyarakat juga mengingatkan masyarakat agar masyarakat tidak jadi korban dan juga tidak menjadi pelaku kejahatan," kata Rusdi dalam diskusi Public Virtue Research Institute, yang digelar secara daring, Ahad, 4 April 2021.
Dari data yang Polri miliki, pengguna internet di Indonesia jumlahnya mencapai 73,3 persen dari populasi. Itu berarti sekitar 202 juta masyarakat Indonesia merupakan pengguna internet.
Jika tidak mampu memilah informasi yang didapatnya, Rusdi mengatakan masyarakat akan lebih mudah disesatkan dengan konten konten yang dikonsumsi.
Meski begitu, Rusdi mengatakan keberadaan polisi virtual masih memiliki tantangan besar. Pasalnya, masih ada kritik yang menganggap polisi virtual terlalu masuk ke ruang privat warga negara dan berpotensi memberangus kebebasan berpendapat masyarakat.
"Itu tantangan bagaimana ketika polisi ingin mengedukasi, melindungi, melayani masyarakat, ternyata ada pihak-pihak tertentu juga yang berusaha menghalangi daripada aktivitas kepolisian tersebut," kata dia.
Kasus aksi teror akibat paparan dari media sosial terjadi pada penyerangan Mabes Polri pada Rabu, 31 Maret 2021 lalu. Pelaku berinisial ZA, disebut polisi terpapar paham radikal dari media sosial yang ia konsumsi.
Hal ini mereka simpulkan dari unggahan ZA di Instagram pribadinya, yang menunjukkan foto bendera ISIS dan tentang jihad.