TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mengungkapkan beberapa alasan tidak membuka data penelusuran kontak (contact tracing) orang-orang yang diduga pernah berhubungan dengan pasien positif Covid-19. Sementara, negara tetangga seperti Singapura misalnya, sudah memiliki aplikasi yang terbuka bagi publik untuk setiap saat bisa mengikuti perkembangan terbaru penelusuran kontak kasus virus Corona.
Juru bicara penanganan wabah virus Corona, Achmad Yurianto mengatakan, alasan pertama adalah pertimbangan kondisi sosial masyarakat. "Tidak mudah menyamakan masyarakat kita dengan Singapura. Tetapi bukan berarti penelusuran itu diam-diam, pasti sekitarnya diajak bicara," ujar Yurianto di Kantor Presiden, Jakarta pada Selasa, 10 Maret 2020.
Belajar dari penempatan WNI asal Wuhan di Natuna, ujar Yurianto, pemerintah tidak ingin mengambil risiko ada masyarakat yang ditolak di daerah setempat jika data itu dibuka. "Kami tahu pengalaman ditolak mentah-mentah saat memutuskan Natuna sebagai tempat pemantauan. Jadi, kami hati-hati.” Tapi komunikasi antardinas kesehatan berada pada satu sistem.
Selain kondisi masyarakat, kata Yurianto, pertimbangan lainnya adalah kondisi wilayah yang luas. Penelusuran yang dilakukan pemerintah tidak berkutat di wilayah kecil. Penelusuran yang dikejar pemerintah sudah berada di luar Jawa dengan mobilitas tinggi. Pemerintah menyimpan data itu dan belum bisa membuka data seperti Singapura. “Karena kalau dibuka responsnya macam-macam nanti akibat belum samanya pemahaman di antara kita."
Kendati demikian, Yurianto memastikan pemerintah akan semakin ketat dan gencar melakukan penelusuran kontak terhadap orang-orang yang diduga pernah melakukan kontak dengan pasien positif Covid-19.
Bagaimanapun, kata dia, cara menghentikan penyebaran virus Corona adalah menemukan kasus positif sebagai sumber dan harus diisolasi. “Kalau enggak, dia jadi pusat sebaran. Penelusuran dilakukan secara tidak terbuka, karena kalau terbuka dia bisa saja kabur, pindah keluar kota," ujar Yurianto.