TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR sepakat menunda pengesahan empat rancangan undang-undang sesuai permintaan Presiden Joko Widodo. Empat RUU itu yakni Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, lembaganya sepakat menunda pengesahan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan untuk melakukan pendalaman dan sosialisasi, kendati dua RUU itu sebenarnya telah disepakati dalam pengambilan keputusan di tingkat I.
"Kami menyadari tidak mungkin satu pihak dapat menuntaskan UU, harus bersama. Ketika pemerintah menyampaikan itu (permintaan menunda) kami sambut dengan baik," kata pria yang akrab disapa Bamsoet ini di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 24 September 2019.
Adapun RUU Pertanahan dan RUU Minerba, kata dia, masih dalam proses pembahasan sehingga tidak perlu dilakukan penundaan. "Karena memang belum masuk pengambilan keputusan tingkat I," ujarnya.
Apa saja fakta-fakta dari empat RUU yang ditunda ini?
1. RKUHP
RKUHP menuai banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Sejumlah pihak menilai RKUHP ini masih berwatak kolonial, jauh dari klaim yang menyatakan keinginan mendekolonialisasi kitab hukum peninggalan Belanda ini. Secara garis besar ada beberapa masalah dalam RKUHP, di antaranya pasal-pasal yang mengancam hak-hak dasar warga seperti kebebasan berekspresi, pasal-pasal yang berpotensi karet, melemahkan tindak pidana khusus seperti pelanggaran HAM dan korupsi, dan sebagainya.
Senin, 23 September lalu, Presiden Jokowi memanggil pimpinan DPR, pimpinan Komisi III, dan ketua fraksi untuk meminta agar pengesahan RKUHP ditunda. DPR awalnya berkukuh ingin tetap mengesahkan RUU itu di periode ini. Namun Selasa kemarin, Ketua DPR Bambang Soesatyo berujar lembaganya sepakat menunda pengesahan seperti permintaan Jokowi.
2. RUU Pemasyarakatan
RUU Pemasyarakatan ini dikritik lantaran mempermudah syarat bebas bersyarat bagi narapidana korupsi. Jika disahkan, RUU ini sekaligus akan membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Pasal 34A PP itu mengatur pemberian remisi bagi narapidana perkara terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi, wajib memenuhi persyaratan.
Salah satu syaratnya adalah bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya alias bertindak sebagai justice collaborator. Ketentuan peralihan RUU PAS menyatakan akan kembali merujuk pada PP Nomor 32 Tahun 1999.
Dalam PP Nomor 32 Tahun 1999 yang akan kembali berlaku, pemberian remisi diatur dalam Pasal 34. Pasal ini hanya menyebutkan bahwa setiap narapidana dan anak pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi.
Namun RUU PAS ini juga tak bisa disahkan jika RKUHP belum disahkan.
3. RUU Pertanahan
Rancangan Undang-undang Pertanahan (RUU Pertanahan) juga mendapat sorotan keras. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengkritik rumusan draf RUU ini tak mendukung semangat reforma agraria yang digelorakan pemerintah sendiri.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menilai RUU Pertanahan malah menyimpang dengan membuka ruang bagi mafia tanah dan para elite. Dia menyoroti pasal-pasal yang mengatur ihwal pasar tanah, pasal pemutihan bagi korporasi besar, dan pasal pemidanaan yang berpotensi mengkriminalisasi rakyat kecil.
"Keseluruhan pasal lainnya bertentangan dengan spirit RA itu sendiri, dan tengah menggiring Indonesia menjadi negara liberal," kata dia.
Penelusuran Tempo juga menemukan adanya dugaan rencana suap di tengah pembahasan RUU Pertanahan itu. Dalam pembahasan RUU itu beredar surat berkop Komisi Pemberantasan Korupsi di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Surat itu berisi perintah pemantauan rencana penyerahan suap di kalangan anggota Dewan serta pejabat Kementerian Agraria dan Tata Ruang dari pengusaha.
Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali tak menampik kabar tersebut. Dia mengaku mendengar kabar serupa dari sejumlah anggota Dewan yang lain. "Tapi saya tidak memiliki salinan surat itu," kata Amali dikutip dari Majalah Tempo edisi Senin, 23 September 2019.
Salah seorang anggota Dewan sempat memperlihatkan salinan surat itu kepada Tempo. Surat tertanggal 3 Juli 2019 itu memuat tiga nama pejabat Kementerian ATR dan seorang pengusaha yang sudah masuk radar KPK. Di dalamnya juga terurai rencana kronologi penyerahan uang yang diserahkan dalam beberapa tahap. Total uang yang akan digelontorkan pengusaha tersebut Rp 37,5 miliar.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang Himawan Arief Sugoto mengaku mendengar kabar akan adanya operasi tangkap tangan tersebut. Namun dia membantah kabar bahwa pejabat di kementeriannya menerima uang pelicin untuk memuluskan proses pembahasan RUU Pertanahan.
4. RUU Minerba
Revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba) juga menjadi RUU yang dinilai terlalu pro pada korporasi. Komisi VII DPR telah menyerahkan draf RUU yang merupakan inisiatif DPR itu untuk dibahas pemerintah sejak April 2018 lalu.
Bagi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), percepatan pembahasan RUU Minerba yang dilakukan DPR, nampak seperti upaya mengakomodir perpanjangan sejumlah perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah dan akan berakhir dalam waktu dekat ini.
Kepala Kampanye Jatam Melky Nahar mengatakan, ada perubahan di pasal 169 dalam rancangan RUU Minerba yang disusun DPR, termasuk DIM (Daftar Investaris Masalah) Pemerintah. Pasal itu membuat perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) dan PKP2B, mendapatkan perpanjangan otomatis selama 2 (dua) kali 10 (sepuluh) tahun dalam bentuk IUPK.
"KK dan PKP2B juga diberikan hak untuk mengusahakan kembali wilayah yang mendapat IUPK, dengan luas wilayah sesuai dengan rencana kerja seluruh wilayah tambang dalam penyesuaian KK atau PKP2B," kata Melky.
Selain itu, Melky juga menyebut adanya penambahan pasal 115 A, yang berpotensi mengkriminalisasi warga. Beleid ini menguatkan pasal 162 pada UU Minerba lama. "Pasal bisa memberi ruang kriminalisasi terhadap warga yang menyampaikan haknya menolak tambang," kata Melky.